Kamis, 23 Juli 2020

Pandemi di Tlatah Jembar


Pandemi di Tlatah Jembar

Pagi itu, Balai Cokro Kemayangan sedang bersiap menyambut tamu Agung. Mereka adalah Begawan Adiyoso dan Ndoro Ngab-Ngab. Keduanya sepakat bertemu di balai keramat peninggalan para Begawan itu. Ada dua agenda penting yang harus segera diperbincangkan. Pertama, tentang stabilitas Nasional Tlatah Jembar. Kedua, tentang pandemi yang belum mau pergi.
Memang, sejak keduanya bertemu di rumah Begawan Kuning, Begawan Adiyoso dan Ndoro Ngab-Ngab bersepakat untuk berhenti berseteru. Bahkan, dengan sikap kesatrianya, Ndoro Ngab-Ngab ‘sangat’ bersedia jika diminta dan dibutuhkan oleh Begawan Adiyoso untuk bersama-sama membangun Tlatah Jembar. Meski akibatnya, Ndoro Ngab-Ngab menjadi musuh nomor satu dari orang-orang gagal move on. Mereka adalah orang-orang yang merasa paling berdarah-darah dalam memperjuangakan Ndoro Ngab-Ngab untuk bisa menjadi pemimpin Tlatah Jembar. Namun belakangan, sejak Ndoro Ngab-Ngab bersedia berdamai dengan Begawan Adiyoso, orang-orang ini pecah kongsi. Mereka menyingkir. Mencari inang baru. Dan, mereka inilah yang berkali-kali dikatakan oleh Maton sebagai penumpang gelap. Parasit. Tidak mutualisme. Bagus, jika mereka hilang. Begitu bisik Maton berkali-kali di heningnya kuping Ndoro Ngab-Ngab.
***
Anggoro baru saja keluar dari rutinitasnya bersamadi. Sudah tiga hari ini ia berada di kamar gurunya. Dalam keheningan yang panjang, Anggoro terus mencoba menfasirkan apa yang disampaikan gurunya pagi buta itu. Masih segar di telinga Anggoro, jika Tlatah Jembar akan dilanda kabut. Pagebluk. Banyak penduduk Tlatah Jembar yang akan tumbang. Kengerian demi kengerian akan menguasai segalanya.
Sebenarnya, Anggoro sudah mulai menyambungkan pesan gurunya itu. Sebab, di ujung sana, di tlatah seberang, sudah banyak orang yang tiba-tiba saja mengejang, menggigil, susah bernapas, dan pada akhirnya tumbang. Tapi pikir Anggoro, apa yang terjadi di tlatah seberang tersebut bukan bagian dari pesan gurunya. Namun, Anggoro salah membuat simpulan.
Kini, Tlatah Jembar mulai dirundung duka. Kentongan pertanda bencana meraung-raung di banyak tempat. Kentongan di Tlatah Jembar itu dikeramatkan seperti Balai Cokro Kemayangan. Pesan para Begawan terdahulu bahwa warga Tlatah Jembar tidak boleh membunyikan kentongan selain untuk dua hal: Pagebluk dan Pertanda waktu ibadah. Ketukannya juga harus dibuat berbeda. Maka, sore itu, warga yang mendengar raungan kentongan itu, sudah bisa menduga jika Tlatah Jembar dalam kepungan duka. Mereka saling merapatkan tubuh. Lalu meratap. Jeritan mereka mengiris-iris hamparan tanah para Begawan yang selalu disucikan itu.
Langit di ujung sana tampak menggantung bosan. Senja yang biasa berpeluk mesra tidak secantik biasanya. Kegelisahan mereka sama. Anggoro mematung di ambin reot yang sejak dulu menjadi pelungguhan gurunya. Di ambin itu, kerap kali gurunya tiba-tiba saja memberi beberapa nasihat. Dan sore itu, ia sangat berharap nasihat itu ada lagi. Detik, perlahan menjelma menit. Lalu mewujud menjadi hitungan jam. Ia hanya menunggu malam yang datang lebih cepat. Sang Guru benar-benar tidak ada di sana. Anggoro seperti ingin muksa. Namun ia sadar tentang derajat batinnya.
***
Dua manusia Agung di Balai Cokro Kemayangan sedang serius berbincang. Beberapa punggawa pemerintahan Tlatah Jembar tampak khidmat menyimak. Mereka tidak ingin ketinggalan momen dan sabda dari dua manusia yang paling dihormati di tlatah itu.
“Jadi, sejak para napi itu mendapat ampunan, stabilitas di tlatah ini menjadi terganggu. Banyak dari mereka yang tidak bisa berterima kasih. Setidaknya ini yang saya dengar dari masyarakat. Beritanya sudah viral. Kita dianggap telah salah langkah. Apakah benar demikian, Ndoro Ngab-Ngab?”
“Siap, Sinuhun! Saya juga mendengar kabar itu. Bahkan hampir semua media sosial di tlatah ini kompak mem-blow up kabar yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar itu. Telik sandi andalan saya sudah menyebar ke seluruh penjuru tlatah ini. Mereka bisa dikendalikan dengan sangat mudah.” Tenang, penuh wibawa, Ndoro Ngab-Ngab menjawab kegelisahan Begawan Adiyoso. “Sinuhun tidak perlu berlebihan merespon kabar itu. Saya bisa memastikan, jika stabilitas Tlatah Jembar akan tetap baik-baik saja,” lanjut Ndoro Ngab-Ngab meyakinkan.
“Terima kasih atas dedikasi Ndoro Ngab-Ngab. Lalu bagaimana dengan pandemi ini. Bagaimana laporan BIN terbaru?”
Ndoro Ngab-Ngab menghela napas panjang. Tidak lekas memberikan jawaban atas pertanyaan Begawan Adiyoso yang kedua. Sebab ia tahu. Pandemi ini menjadi sangat rumit untuk dibincangkan. Tlatah Jembar memang negeri para Begawan. Dibangun atas dasar rapalan mantra suci. Namun, seiring perubahan zaman, heteroginitas masyarakat tidak serta merta bisa dihentikan begitu saja.
Ndoro Ngab-Ngab sadar betul, jika Tlatah Jembar tetap akan baik-baik saja. Gesekan-gesekan yang terjadi di masyarakat tidak akan pernah bisa memecah negeri yang makmur ini. Tapi yang menjadi kekhawatiran di hati Ndoro Ngab-Ngab adalah ulah konyol masyarakat yang nota bene adalah orang-orang yang sejak kecil merapal Aksoro Suci Sabdo Pandito dari para Begawan Tlatah Jembar.
“Pandemi ini masih belum bisa dikatakan mereda secara signifikan, Sinuhun. Akan tetapi di beberapa daerah sudah mengalami penurunan yang tajam. Ada beberapa daerah yang memiliki tingkat kesembuhan yang sangat tinggi, yakni hampir mencapai 95%. Tingkat ketakutan masyarakat juga menurun dan berbanding terbalik dengan tingkat kesadaran masyarakat yang meningkat secara drastis.” Tegas, Ndoro Ngab-Ngab mengurai jawaban. Begawan Adiyoso mendengar dengan seksama sambil membungkus dagunya yang tidak pernah bisa tumbuh rambut. “Namun ada laporan masuk, Sinuhun. Ketidaktakutan masyarakat yang turun bukan karena pandemi yang mulai mereda, tapi mereka tidak takut karena menganggap pandemi ini hanyalah buah konspiarsi kapitalis. Kejadian sekarang ini persis dengan kejadian kali pertama pandemi ini menyerang tlatah ini.” Ada kejengahan dan kejengkelan yang berkolaborasi di wajah Ndoro Ngab-Ngab. Begawan Adiyoso segera menangkap apa yang ada di wajah pembantunya itu.
“Lalu apa penyebabnya?” Tanya Begawan Adiyoso cepat. Ia menggeser tubuh kurusnya untuk lebih mendekat kepada Ndoro Ngab-Ngab.
Ndoro Ngab-Ngab menggeleng pelan. Lalu mulai menata kalimat lagi.
“Ada beberapa rumah sakit yang memaksa keluarga pasien untuk mengaku sebagai korban pandemi. Ini sangat memalukan. Garda terdepan kita dalam penanggulangan pandemi ini malah menjadi aktor dari semua keruwetan ini. Dan semua ini bocor di masyarakat, Sinuhun.”
“Tidak bisa dibiarkan. Segera selesaikan. Saya tidak ingin kasus ini semakin membesar. Sementara untuk para Begawan yang apatis terhadap pandemi ini, diamkan!”
Wajah Begawan Adiyoso sedikit memerah. Kerut di keningnya berjingkrak histeris. Jengah, marah, khawatir ditelan semua oleh Begawan yang sudah dua periode memimpin Tlatah Jembar itu. Tubuh kurusnya semakin tampak memprihatinkan. Sangat kontras dengan tubuh Ndoro Ngab-Ngab yang semakin tampak subur.
“Lalu bagaimana dengan kasus klepon kemarin?”
Ndoro Ngab-Ngab ditelan hening.
***
Tiba-tiba saja Lek Kijo menepuk bahu Anggoro yang malam itu tidur lebih cepat. Ia tergagap bangun. Dan berusaha mencium tangan putih gurunya.
Pakaian yang dikenakan Lek Kijo tidak seperti biasanya. Kali ini, ia mengenakan jubah warna hijau. Teduh, tenang, mengayomi.
“Apa kabar Anggoro?”
“Baik, Guru.” Dua mata Anggoro tiba-tiba sembab. Rindu itu berubah menjadi buliran air yang ditahan mati-matian agar tidak segera jatuh. Kewaskitaan Lek Kijo memang bisa dipertanggungjawabkan. Benar, tiap hati Anggoro dihantam cemas, Lek Kijo selalu keluar dari kemuksaannya untuk menemui murid kinasihnya.
“Jangan khawatir. Begawan Adiyoso itu orang yang bijaksana. Aku melihatnya di Nirwana sana. Ia serius memerangi pagbeluk ini. Tapi cobaannya begitu berat. Banyak orang di sekitarnya yang ingin Begawan Adiyoso menyudahi tugasnya sebagai pemimpin tertinggi Tlatah Jembar. Banyak pembantunya yang bekerja tidak sesuai espektasi. Dan itu mereka sengaja.” Dua mata Lek Kijo menerawang jauh. Tidak jelas arahnya. Sementara di sebelahnya, Anggoro sudah tidak bisa menahan air matanya lagi.
“Lalu bagaimana lagi?” tanya Anggoro sambil sesenggukan.
“Pagebluk akan segera berlalu. Tapi akan ada badai berikutnya. Bani Katimin akan keluar dari persembunyiannya. Ia akan membuat peperangan besar di Tlatah Jembar. Kau harus lebih rajin merapal wirid lagi. Rajin bersamadi lagi. Jika Sang Hyang Tunggal berkehendak, Ia akan melemparkanku lagi ke dunia fana’ ini.”
Anggoro tiba-tiba saja rubuh. Ia mendapati tubuh ringkihnya sudah di ambin reot. Keesokan harinya.



2 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...