Pandemi
di Tlatah Jembar
Pagi itu, Balai Cokro
Kemayangan sedang bersiap menyambut tamu Agung. Mereka adalah Begawan Adiyoso
dan Ndoro Ngab-Ngab. Keduanya sepakat bertemu di balai keramat peninggalan para
Begawan itu. Ada dua agenda penting yang harus segera diperbincangkan. Pertama,
tentang stabilitas Nasional Tlatah Jembar. Kedua, tentang pandemi yang belum
mau pergi.
Memang, sejak keduanya
bertemu di rumah Begawan Kuning, Begawan Adiyoso dan Ndoro Ngab-Ngab bersepakat
untuk berhenti berseteru. Bahkan, dengan sikap kesatrianya, Ndoro Ngab-Ngab ‘sangat’
bersedia jika diminta dan dibutuhkan oleh Begawan Adiyoso untuk bersama-sama
membangun Tlatah Jembar. Meski akibatnya, Ndoro Ngab-Ngab menjadi musuh nomor
satu dari orang-orang gagal move on. Mereka adalah orang-orang yang
merasa paling berdarah-darah dalam memperjuangakan Ndoro Ngab-Ngab untuk bisa
menjadi pemimpin Tlatah Jembar. Namun belakangan, sejak Ndoro Ngab-Ngab
bersedia berdamai dengan Begawan Adiyoso, orang-orang ini pecah kongsi. Mereka
menyingkir. Mencari inang baru. Dan, mereka inilah yang berkali-kali dikatakan
oleh Maton sebagai penumpang gelap. Parasit. Tidak mutualisme. Bagus, jika
mereka hilang. Begitu bisik Maton berkali-kali di heningnya kuping Ndoro
Ngab-Ngab.
***
Anggoro baru saja
keluar dari rutinitasnya bersamadi. Sudah tiga hari ini ia berada di kamar
gurunya. Dalam keheningan yang panjang, Anggoro terus mencoba menfasirkan apa
yang disampaikan gurunya pagi buta itu. Masih segar di telinga Anggoro, jika
Tlatah Jembar akan dilanda kabut. Pagebluk. Banyak penduduk Tlatah
Jembar yang akan tumbang. Kengerian demi kengerian akan menguasai segalanya.
Sebenarnya, Anggoro
sudah mulai menyambungkan pesan gurunya itu. Sebab, di ujung sana, di tlatah
seberang, sudah banyak orang yang tiba-tiba saja mengejang, menggigil, susah
bernapas, dan pada akhirnya tumbang. Tapi pikir Anggoro, apa yang terjadi di tlatah
seberang tersebut bukan bagian dari pesan gurunya. Namun, Anggoro salah membuat
simpulan.
Kini, Tlatah Jembar
mulai dirundung duka. Kentongan pertanda bencana meraung-raung di banyak
tempat. Kentongan di Tlatah Jembar itu dikeramatkan seperti Balai Cokro
Kemayangan. Pesan para Begawan terdahulu bahwa warga Tlatah Jembar tidak boleh
membunyikan kentongan selain untuk dua hal: Pagebluk dan Pertanda waktu ibadah.
Ketukannya juga harus dibuat berbeda. Maka, sore itu, warga yang mendengar
raungan kentongan itu, sudah bisa menduga jika Tlatah Jembar dalam kepungan duka.
Mereka saling merapatkan tubuh. Lalu meratap. Jeritan mereka mengiris-iris
hamparan tanah para Begawan yang selalu disucikan itu.
Langit di ujung sana
tampak menggantung bosan. Senja yang biasa berpeluk mesra tidak secantik biasanya.
Kegelisahan mereka sama. Anggoro mematung di ambin reot yang sejak dulu menjadi
pelungguhan gurunya. Di ambin itu, kerap kali gurunya tiba-tiba saja
memberi beberapa nasihat. Dan sore itu, ia sangat berharap nasihat itu ada
lagi. Detik, perlahan menjelma menit. Lalu mewujud menjadi hitungan jam. Ia hanya
menunggu malam yang datang lebih cepat. Sang Guru benar-benar tidak ada di
sana. Anggoro seperti ingin muksa. Namun ia sadar tentang derajat batinnya.
***
Dua manusia Agung di
Balai Cokro Kemayangan sedang serius berbincang. Beberapa punggawa pemerintahan
Tlatah Jembar tampak khidmat menyimak. Mereka tidak ingin ketinggalan momen dan
sabda dari dua manusia yang paling dihormati di tlatah itu.
“Jadi, sejak para napi
itu mendapat ampunan, stabilitas di tlatah ini menjadi terganggu. Banyak dari mereka
yang tidak bisa berterima kasih. Setidaknya ini yang saya dengar dari
masyarakat. Beritanya sudah viral. Kita dianggap telah salah langkah. Apakah benar
demikian, Ndoro Ngab-Ngab?”
“Siap, Sinuhun! Saya juga
mendengar kabar itu. Bahkan hampir semua media sosial di tlatah ini kompak mem-blow
up kabar yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar itu. Telik sandi andalan
saya sudah menyebar ke seluruh penjuru tlatah ini. Mereka bisa dikendalikan
dengan sangat mudah.” Tenang, penuh wibawa, Ndoro Ngab-Ngab menjawab
kegelisahan Begawan Adiyoso. “Sinuhun tidak perlu berlebihan merespon kabar
itu. Saya bisa memastikan, jika stabilitas Tlatah Jembar akan tetap baik-baik
saja,” lanjut Ndoro Ngab-Ngab meyakinkan.
“Terima kasih atas
dedikasi Ndoro Ngab-Ngab. Lalu bagaimana dengan pandemi ini. Bagaimana laporan
BIN terbaru?”
Ndoro Ngab-Ngab
menghela napas panjang. Tidak lekas memberikan jawaban atas pertanyaan Begawan
Adiyoso yang kedua. Sebab ia tahu. Pandemi ini menjadi sangat rumit untuk
dibincangkan. Tlatah Jembar memang negeri para Begawan. Dibangun atas dasar
rapalan mantra suci. Namun, seiring perubahan zaman, heteroginitas masyarakat
tidak serta merta bisa dihentikan begitu saja.
Ndoro Ngab-Ngab sadar
betul, jika Tlatah Jembar tetap akan baik-baik saja. Gesekan-gesekan yang
terjadi di masyarakat tidak akan pernah bisa memecah negeri yang makmur ini. Tapi
yang menjadi kekhawatiran di hati Ndoro Ngab-Ngab adalah ulah konyol masyarakat
yang nota bene adalah orang-orang yang sejak kecil merapal Aksoro Suci Sabdo
Pandito dari para Begawan Tlatah Jembar.
“Pandemi ini masih
belum bisa dikatakan mereda secara signifikan, Sinuhun. Akan tetapi di beberapa
daerah sudah mengalami penurunan yang tajam. Ada beberapa daerah yang memiliki
tingkat kesembuhan yang sangat tinggi, yakni hampir mencapai 95%. Tingkat ketakutan
masyarakat juga menurun dan berbanding terbalik dengan tingkat kesadaran
masyarakat yang meningkat secara drastis.” Tegas, Ndoro Ngab-Ngab mengurai
jawaban. Begawan Adiyoso mendengar dengan seksama sambil membungkus dagunya
yang tidak pernah bisa tumbuh rambut. “Namun ada laporan masuk, Sinuhun. Ketidaktakutan
masyarakat yang turun bukan karena pandemi yang mulai mereda, tapi mereka tidak
takut karena menganggap pandemi ini hanyalah buah konspiarsi kapitalis. Kejadian
sekarang ini persis dengan kejadian kali pertama pandemi ini menyerang tlatah
ini.” Ada kejengahan dan kejengkelan yang berkolaborasi di wajah Ndoro
Ngab-Ngab. Begawan Adiyoso segera menangkap apa yang ada di wajah pembantunya
itu.
“Lalu apa penyebabnya?”
Tanya Begawan Adiyoso cepat. Ia menggeser tubuh kurusnya untuk lebih mendekat
kepada Ndoro Ngab-Ngab.
Ndoro Ngab-Ngab
menggeleng pelan. Lalu mulai menata kalimat lagi.
“Ada beberapa rumah
sakit yang memaksa keluarga pasien untuk mengaku sebagai korban pandemi. Ini sangat
memalukan. Garda terdepan kita dalam penanggulangan pandemi ini malah menjadi aktor
dari semua keruwetan ini. Dan semua ini bocor di masyarakat, Sinuhun.”
“Tidak bisa dibiarkan. Segera
selesaikan. Saya tidak ingin kasus ini semakin membesar. Sementara untuk para Begawan
yang apatis terhadap pandemi ini, diamkan!”
Wajah Begawan Adiyoso
sedikit memerah. Kerut di keningnya berjingkrak histeris. Jengah, marah,
khawatir ditelan semua oleh Begawan yang sudah dua periode memimpin Tlatah
Jembar itu. Tubuh kurusnya semakin tampak memprihatinkan. Sangat kontras dengan
tubuh Ndoro Ngab-Ngab yang semakin tampak subur.
“Lalu bagaimana dengan
kasus klepon kemarin?”
Ndoro Ngab-Ngab ditelan
hening.
***
Tiba-tiba saja Lek Kijo
menepuk bahu Anggoro yang malam itu tidur lebih cepat. Ia tergagap bangun. Dan berusaha
mencium tangan putih gurunya.
Pakaian yang dikenakan
Lek Kijo tidak seperti biasanya. Kali ini, ia mengenakan jubah warna hijau. Teduh,
tenang, mengayomi.
“Apa kabar Anggoro?”
“Baik, Guru.” Dua mata
Anggoro tiba-tiba sembab. Rindu itu berubah menjadi buliran air yang ditahan
mati-matian agar tidak segera jatuh. Kewaskitaan Lek Kijo memang bisa
dipertanggungjawabkan. Benar, tiap hati Anggoro dihantam cemas, Lek Kijo selalu
keluar dari kemuksaannya untuk menemui murid kinasihnya.
“Jangan khawatir. Begawan
Adiyoso itu orang yang bijaksana. Aku melihatnya di Nirwana sana. Ia serius
memerangi pagbeluk ini. Tapi cobaannya begitu berat. Banyak orang di sekitarnya
yang ingin Begawan Adiyoso menyudahi tugasnya sebagai pemimpin tertinggi Tlatah
Jembar. Banyak pembantunya yang bekerja tidak sesuai espektasi. Dan itu mereka
sengaja.” Dua mata Lek Kijo menerawang jauh. Tidak jelas arahnya. Sementara di
sebelahnya, Anggoro sudah tidak bisa menahan air matanya lagi.
“Lalu bagaimana lagi?” tanya
Anggoro sambil sesenggukan.
“Pagebluk akan segera
berlalu. Tapi akan ada badai berikutnya. Bani Katimin akan keluar dari
persembunyiannya. Ia akan membuat peperangan besar di Tlatah Jembar. Kau harus
lebih rajin merapal wirid lagi. Rajin bersamadi lagi. Jika Sang Hyang Tunggal
berkehendak, Ia akan melemparkanku lagi ke dunia fana’ ini.”
Anggoro tiba-tiba saja
rubuh. Ia mendapati tubuh ringkihnya sudah di ambin reot. Keesokan harinya.

Mantap, diksinya jos .. isi cerita edukatif
BalasHapusSembah nuwun. Mohon bimbingannya 🙏🙏🙏
Hapus