Kamis, 23 Juli 2020

Mengapa Harus Membaca Siluet

Siluet adalah Novel bersambung yang bergenre Drama Advanture. Ditulis oleh penulis amatir. Novel yang lahir karena desakan ekonomi, namun ujung-ujungnya tidak laku juga. :D

Mengapa harus membaca Siluet, begini kira-kira jalan ceritanya:


Aven tidak pernah berniat untuk tidak datang di tempat yang dijanjikan. Malam yang pekat lebih dulu menelannya. Tubuhnya diinjak langit. Tak berbekas. Semua yang ada di depannya hanyalah gelap yang tak pernah berujung.
Lalang memilih untuk segera pulang ke Malang saat usahanya memungut jejak laki-laki itu tak membuahkan hasil. Rasa kecewanya teramat besar. Melibihi tuganya membawa pulang Cemara.
***
Pagi-pagi sekali, Aven membuka mata. Ia mendapati tubuhnya sedang tertanami puluhan jarum. Dan laki-laki yang berada di sebelahnya cepat-cepat melarangnya untuk berdiri. Banyak energi yang musti dipulihkan. Laki-laki itu mengatakan, monster di tubuh Aven tidak bisa didiamkan lagi. Ia terus-terusan menggigit daging yang juga sudah mulai menyusut itu.
Laki-laki itu bernama Paman Hong. Ia menemukan Aven di sudut gang kecil, gelap, lengang. Aven mengatubkan dua matanya erat. Setelah dilihat masih bernyawa, ia membawanya pulang. Kebetulan yang sangat ajaib, kata Paman Hong pelan.
Di rumah Paman Hong, Aven belajar banyak bagaimana menjadi manusia yang sebenarnya. Ia juga merenungi pertanda semesta, tidak abai dengan semua isyaratnya. Di sana, Aven seperti baru lahir, komplet dengan pembaharuan pemikiran. Paman Hong terus mengajarkan kepadanya bahwa semua yang melekat pada tubuhnya, ada hak orang lain yang musti diberikan. Tak perlu melihat siapa orangnya. Semua sama. Tak ada kotak-kotak yang musti diributkan.
Setelah tinggal beberapa hari di rumah Paman Hong, Aven diserahkan kepada temannya. Tujuannya hanya satu, agar pemahaman yang ia dapat benar-benar matang. Teman Paman Hong ada di sebuah daerah bernama Soko Tunggal. Di sana, ada sebuah pesantren dengan beragam isinya. Aven menjadi sangat takut. Trauma dihakimi berkali-kali tentang agama menyeruak tiba-tiba. Langkahnya terhenti. Keraguan menguasai seluruh kepalanya. Paman Hong memahaminya. Lalu menggamitnya. Semua akan baik-baik saja, begitu bisiknya.
Pemilik Soko Tunggal itu bernama Nuril Arifin. Mereka semua memanggilnya Gus Nuril. Dan saat berjumpa dengannya, ketakutan dan keraguan Aven tertelan di wajah tedunya. Jangan khawatir, di tempat ini kita sama. Kata Gus Nuril sambil memeluk Aven.
Gus Nuril sangat intens berbincang dengan Aven. Transformasi pemahaman tentang agama berjalan sempurna, sehingga kini Aven memahami  jika puncak tertinggi Agama adalah kasih sayang, dan semua Agama yang ada tidak ada yang tidak mengajarkan kebaikan.
Aven ingin abadi di sana. Di pelukan Sang Guru tercinta. Namun ia harus melangkah lagi. Itu sudah menjadi takdirnya. Tapi kelak, Sang Guru mengatakan, ia akan ke rumah itu lagi. Memeluk Sang Guru lagi.
Tempat pertama yang ia tuju setelah meninggalkan Soko Tunggal ada Bali. Di Pulau Dewata itu, Aven harus menemui sahabat Paman Hong. Ia yang menggenggam takdirnya. Tapi saat sampai di Ketapang, Aven tertahan oleh gemerlap malam di sudut kecil pelabuhan itu.
Ia melihat gadis itu. Tubuhnya yang telanjang, menghadirkan kepedihan. Kelaminnya seperti berpesan: Ini bukan kehendakku. Aven memutuskan tinggal di sana sejenak. Di sebuah bilik kecil dengan beranda penuh penyesalan.
Ia menemuinya. Perempuan itu bernama Cinta. Pada mulanya, Cinta menyerahkan sepenuhnya kelamin yang ia punya untuk Aven. Namun tiba-tiba saja, ia membatalkannya. Ia tahu, Aven sedang tidak menyalakan birahi. Lalu apa? Tidak terjawab. Hanya janji untuk bertemu di malam berikutnya yang tercipta.
Gemerlap itu datang lagi. Tak berubah seperti malam sebelumnya. Di beranda, Aven menunggu Cinta. Namun hampir setengah jam terlewat, Cinta tidak menampakkan wujudnya. Ada wanita lain yang kini mendekat padanya. Ia mengenalkan diri sebagai Silvie. Ia mengambil duduk yang sangat dekat dengan Aven. Aroma kelamin ia tabur di wajah Aven. Laki-laki itu segera bereaksi. Ia sedang menunggu Cinta. Dan sekejap, Silvie menjadi manusia biasa lagi. Kemudian berbincang. Ia tak sungkan mengataka kepada Aven, jika melacur adalah pilihan hidupnya. Ada birahi yang harus dikasih makan. Ada pernik perhiasan yang harus dibawa pulang.
Kemudian Cinta datang. Lalu bergegas pulang. Aven mengekor di belakangnya. Rumah itu ramah. Aroma kelamin tidak ada di sana. Sebentar, saya mandi dulu, pamitnya sesaat setelah ia mempersilakan Aven duduk.
Beberapa saat terlewat, Cinta muncul dari balik kelambu. Penampilannya sangat berbeda. Maaf, lama. Tadi aku salat Isya dulu. Sebelum melayani pelanggan, aku lupa belum salat. Kata Cinta cepat. Tubuh Aven bergetar. Tapi buru-buru diredam oleh Cinta. Pelacur boleh salat, kan?
Satu warna kehidupan ia lihat malam itu. Ia merenung hebat tentang Cinta dan Silvie, dan semuanya buyar saat kapal barang itu merapat di Gilimanuk. Aven bergegas turun. Ia berjalan mencari tumpangan. Negara menjadi tujannya.
Truk besar itu berhasil mengantar Aven di kampung melayu Loloan Timur; yang masuk wilayah Negara. Di sana ada Rahmadia. Perempun siluman yang selalu ada di sebelah Aven saat naik gunung. Dari rumah sahabatnya itu, Aven akan ke Ubud menemui sahabat Paman Hong.
Setelah berkali-kali bertanya, Aven dan Rahmadia sampai juga pada orang yang dicari. Rumahnya paling beda. Ada masjid kecil di pelatarannya. Rumah itu berdiri tenang di antara gamitan ratusan Pure yang ada di sebelahnya. Aven segera menyampaikan pesan Paman Hong kepada pemilik rumah, dan bergegas pergi.
Dari Ubud, Aven dan Rahmad menuju Kuta. Di pantai itu, ia akan membuktikan apakah benar jika sejenak di sana, kedewasaan akan segera tiba. Tapi dugaan itu salah. Yang ia lihat di sana hanyalah warna dunia yang lain. Hanya itu saja.
Di Kuta, Aven berjumpa dengan seorang backpacker lintas dunia bernama Paul. Laki-laki blesteran itu bercerita banyak tentang tenpat-tempat yang sudah ia singgahi. Dan Paul, datang dari negeri impiannya: Negeri Papan Catur. Keputusan sudah diambil. Rahmadia pulang ke rumahnya. Aven akan pulang ke rumah Paul.
Perjalanan resmi dimulai. Mereka menumpang kapal layar menuju Eropa. Namun, takdir lebih dulu melemparkan keduanya ke negeri seribu menara: Mesir. Di sana, demi menyambung hidup, keduanya bekerja di Masjid, dengan tugas utama menata sandal para jamaah. Dari pekerjaannya itu, mereka mendapat makan dan tempat menginap, serta beberapa uang yang tidak besar jumlahnya.
Menata sandal segera membuat mereka bosan. Dengan uang yang pas-pasan, mereka memutuskan untuk pergi ke Kairo. Di sana pasti banyak kafe, kata Aven yakin. Setelah sampai di sana, Aven melamar kerja di sebuah kafe kecil yang terletak di Khan Khalili. Kafe itu bernama Al-Gamal. Kafe yang masih seumur jagung.
Bekerja di kafe, membuat Aven melihat banyak warna yang lain. Kafe bagi masyarakat Kairo seperti miniatur negera dan pemerintahan. Sebab, tidak sekali dua kali Aven melayani pejabat negera yang berbincang tentang program pemerintahan.
Bebeapa lama bekerja di kafe, Aven mengikuti Musabaqatul Maqha yang diadakan oleh kafe legendaris El-Fishawi. Musabaqatul Maqha adalah kompetisi meracik kopi lintas benua. Para peserta wajib menjelaskan filosofi dari nama kopi yang mereka cipta. Di Al-Gamal, Aven memang teruji sebagi barista jempolan. Tapi bagaimana di El-Fishawi? Kafe legendaris yang membuat Umi Kulsum dan Naguib Mahfudz betah berlama-lama di sana?
Apa yang diwariskan Mak Ten kepada Aven, bisa bicara banyak di kompetisi itu. Aven merajai semua sesi kompetisi. Aven berhasil menjadi juara dengan kopi andalannya: Bung Karno Coffee dan Pancasila Coffee. Sebagai hadianya, Aven mendapatkan bekal yang lebih dari cukup untuk berlayar ke Eropa.
Maka pagi-pagi sekali, Aven memulai perjalanannya lagi. Al-Gamal terpatri di lubuk hatinya. Kali ini, kapal yang ia tumpangi naik kelas. Reputasi sebagai Maestro Kopi di Musabaqatul Maqha mem-back up semuanya.
Sampai di Eropa, negera pertama yang ia pijak adalah Belanda. Setelah itu Austria, lalu Jerman. Di negera Hitler ini, kopi mempertemukan Aven dangn Shinta; yang kini menjadi peracik kopi andalan sebuah kafe mahal di Berlin. Dalam perjumapaan aneh itu, keduanya adu kesaktian meracik kopi. Tapi Shinta kalah, lebih tepatnya mengalah. Atas apresiasi itu, Aven berjanji, kelak akan menjempunya  untuk pulang ke Indonesia.
Perjalanan berlanjut menuju Austria, dan puncaknya, Aven berhenti di negeri impiannya, Negeri Papan Catur. Di negeri impiannya itu, kopi dengan sangat ajaib mempertemukan ia dengan Jambrong; seorang pemulung gelas Aqua yang kini menjadi marbot masjid di Islamic Center Kroasia. Pemulung itu juga merupakan peracik kopi hebat; yang ketika akan meracik kopi, selalu memeragakan gerakan silat terlebih dulu.
Perjumpaan itu, menguatkan cita-cita Aven untuk menyatukan Para Maestro Kopi seluruh dunia melalui kompetisi yang akan diadakan di Malang. Dan Jambrong akan menjadi penggenapnya. Sebab itu, ia juga akan berjanji pulang bersamanya ke Indonesia.
Tujuan terakhir perjalanan itu adalah rumah Paul yang ada di Pula. Tapi di kota kecil itu, Aven hanya memperoleh kebosanan. Genap tiga bulan di sana, Aven memutuskan pulang Ke Bali. Dari Bali, Aven akan ke Malang untuk mengobati rindunya. Namun, saat pertemuan itu akan terwujud, bibir tebal Kun membuyarakan semunya. Dari bibir Kun, Aven tahu, Lalang tidak sendiri lagi, ada Lumbung yang selalu menemani.
Tiga tahun menghilang bukan perkara yang sederhana. tapi langit berkehendak lain. Demi Lumbung, Aven lebih memilih menghilang lagi. Dan saat mendengar Aven berada di tempat Kun, Lumbung bergegas menyusul. Tapi semua sudah terlambat. Rahasia semesta sudah terbaca semuanya.    

#Masih banyak kisah yang musti dikunyah di Siluet. Tapi jangan pernah membeli Novel ini. Itu pesan saya. :D

6 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...