Kamis, 26 Desember 2019

Tuhan Tak Serumit Isi Kepala

Tuhan Tak Serumit Isi Kepala




Pagi-pagi telepon saya berdering. Ada nomor asing tercetak di layarnya. Dari sana, ia menyapa. Oh. Saya ingat, ia adalah teman saya yang kini menetap di Sulawesi; meninggalkan saya dan kampung halamannya. Suaranya masih seperti yang dulu. Renyah dan penuh semangat.

 

Saya bertanya kabar. Ia baik-baik saja. Bahkan jauh lebih baik dari saya. Terdengar kelakar dari seberang sana. Tapi saya tahu, ia sedang ingin bercanda. Dari dulu, ia suka menertawai dirinya sendiri. Ah. Peduli setan, gumam saya dalam hati.

Ada apa, Kawan?

 

Ia tidak menjawab. Ia memilih bercerita bagaimana kehidupannya di sana. Sekarang, ia sedang ‘momong’ banyak remaja; yang rata-rata memiliki masa lalu yang gelap. Mulai pecandu miras sampai pengedar narkoba. Para remaja ini ia bimbing untuk hidup lebih baik. Kebetulan, kawan saya yang satu ini dipercaya masyarakat setempat sebagai pemborong rumah yang jujur, bagus, dan tentunya memiliki harga yang miring dibanding pemborong lain. Jadi, mereka yang di sana diajak untuk bekerja; yang gajinya tidak diberikan sepenuhnya. Gaji dipotong dua puluh persen untuk disimpan. Dan secara diam-diam, ia mengirimkannya ke rumah orang tua para remaja itu.

 

Tidak cukup sampai di situ, kawan saya ini juga membuat aturan yang sangat ketat sebenarnya, tapi dikemas dengan bungkus yang sangat lunak. Sehingga mereka tidak sadar jika sedang didisiplinkan. Contoh kecilnya adalah kewajiban salat lima waktu. Kawan saya ini tidak pernah berteriak: “Ayo salat! Ayo salat!” Tapi ia menyampaikannya dengan keteladanan. Dengan cerita-cerita unik, lucu. Ajakan itu disampaikan saat main gaple, atau catur. Atau ketika sedang berkumpul untuk minum-minum miras. Entah, mantra apa yang dimiliki kawan dekil saya ini. Kalimat-kalimat lucunya seperti sihir. Membuat para remaja itu terlena.

 

Pada mulanya, mereka salat di bawah pengaruh miras. Dengan pakaian seadanya. Tapi sekarang… Ah. Kawan saya tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Ia lebih memilih menikmati bulir-bulir air matanya yang berjatuhan karena haru. Saya tertegun. Saya malu. Ia yang dulu begitu, sekarang menjadi lilin di gelapnya kehidupan manusia-manusia malang itu. Saya masih berencana, namun ia sudah melaksanakannya. Benar-benar Tuhan Maha Pemberi Kejutan.

 

Lalu ia bertanya kepada saya: “Apakah orang yang bertato tidak diterima ibadahnya?”

 

Dua mata saya menyipit. Pertanyaan yang ia ajukan sangat tajam. Saya kira, tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu.

 

Ia terus mendesak saya untuk segera menjawab. Maka, dengan sangat tegas saya jawab: “Tuhan itu Maha Baik. Maha pengertian.”

 

Ia terdengar melempar senyum. Kemudian bercerita tentang seseorang bertato yang ia pertanyakan. Suatu ketika ada seorang remaja datang padanya. Ada beberapa bagian tubuhnya yang bertato permanen. Remaja itu menyampaikan niatnya untuk bertobat dan ingin melaksanakan salat. Lalu remaja itu bertanya, apakah tubuh yang bertato boleh diajak beribadah? Kawan saya spontan menjawab: Boleh!

Remaja itu begitu girang. Berkali-kali ia marapal nama Tuhan. Duh Gusti … Duh Gusti … Duh Gusti.

 

Saya angkat topi untuk kawan saya itu. Saya sangat setuju dengan jawabannya. Benar, siapa pun boleh beribadah kepada Tuhan. Siapa pun tidak berhak melarang orang lain untuk beribadah kepada Tuhan. Sebab Tuhan Maha Segalanya. Maha Karepe Dewe.

 

Hm. Pada dasarnya, tidak ada manusia yang tidak menyimpan surga di lubuk hati kecilnya. Sebejat apapun manusia, tentu saja ia tetap berharap ingin menginap di tempat kenikmatan itu. Tidak terkecuali dengan remaja yang bertato itu. Harapannya, harapan saya sama.

 

Lalu bagaimana jika ada yang bertanya bagaimana hukumnya beribadah dengan tubuh bertato permanen?

 

Saya kira, saya tidak perlu menjawab pertanyaan ini. Sebab, yang perlu saya lakukan adalah melindungi niat baiknya, merawat hatinya, dan menjaga harapannya. Terlepas diterima tidaknya ibadah itu sudah wilayah Tuhan.

 

Agama saya begitu santun dan lembut mengayomi pemeluknya. Agama ini bisa menerima manusia model apa saja. Agama saya ini tidak mengajarkan bagaimana menyakiti hati orang lain. Tapi sebaliknya, agama saya ini mengajarkan bagaimana merawat niat baik seseorang. Melindungi dan menjaganya dari keterputusasaan. Saya ingin membahagiakannya dulu. Saya ingin melihatnya tersenyum puas atas niatnya yang bisa diterima. Ingat, waktu tidak pernah berhenti dalam satu titik. Ia akan terus berjalan. Mengajak semuanya untuk belajar. Dasar seperti inilah yang meyakinkan saya, jika remaja itu sudah bahagia dengan niatnya, ia akan sungguh-sungguh merubah dirinya. Dan jika keyakinannya sudah kuat, barulah diberi definisi-definisi ibadah dari sudut pandang fiqh.

 

Saya dan kawan saya itu memiliki keyakinan yang sama; bahwa membuat orang lain berputus asa di jalan Tuhan, maka Tuhan akan berlipat melaknat saya dan kawan saya.

 

Ingat, Tuhan itu Maha Segalanya. Jangan dibikin rumit seperti isi kepala kalian. Mudahkanlah semua urusan. Karena itu yang paling masuk akal.

 

Selamat menikmati Kopi Pagi, Kawan. Jangan lupa rindu kepada mantan! Semoga.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...