Sore itu, Mbah Rekso dan istrinya, Mbah Pani tampak serius
berdiskusi. Ambin reot depan rumah mereka selalu setia menjadi saksi
perbincangan mereka berdua. Biasanya, di atas ambin itu ada satu mug ukuran
tanggung yang berisi teh hangat, dengan ditemani beberapa ketela goreng hasil
kebun sendiri. Mereka seperti memliki jadwal rutin untuk berbagi pikiran. Selalu
di sore hari sampai menjelang senja. Setelah itu, keduanya bergegas mengambil
air wudhu, kemudian mereka berdiri depan-belakang dengan jarak yang hanya
sehasta.
Mbah Rekso dan Mbah Pani adalah dua pasangan yang selalu
terlihat tanpa kesedihan. Wajahnya yang keriput selalu mengabarkan jika
keduanya sudah mengalahkan dunia, dan mampu berdamai dengan hati. Kedua
pasangan ini tidak memiliki keturunan. Sejak menikah dulu, keduanya sudah tahu
tentang masa depan pernikahannya. Bagi keduanya, puncak tertinggi cinta adalah
persembahan, bukan pengharapan. Baik Mbah Rekso, dan Mbah Pani adalah dua
manusia yang telah merdeka; muksa dari hiruk-pikuk dan segala keruwetan yang
dibungkus rapi dalam wujud nafsu.
Mbah Rekso dan Mbah Pani anaknya banyak, gumam beberapa orang
yang sedang main gaple di gardu desa. Iya, benar. Sahut yang lainnya. Setiap sore,
tiga kali dalam seminggu, Mbah Rekso dan Mbah Pani selalu berkunjung ke Surga
Alit; sebuah panti asuhan yang berjarak empat kilometer dari rumah keduanya. Mbah
Rekso dan Mbah Pani selalu tampak tergesa ketika jadwal kunjungan itu telah
tiba. Jalan keduanya tidak bisa tenang. Ada rindu yang harus diterimakasihi. Begitu
kata keduanya.
Ketika sudah sampai di Surga Alit, Mbah Rekso dan Mbah Pani selalu
kelihatan berkaca-kaca. Tapi itu bukan kesedihan, atau sekadar bentuk protes
kepada takdir, tapi itu adalah visualisasi kebahagiaan yang tidak bisa mereka
verbalkan. Kemudian mereka akan berlama-lama di bawah beringin yang rindang;
yang berdiri kukuh di samping panti asuhan itu. Dan setelah rindu terbayar
lunas, keduanya akan bergegas ke ruangan pengurus lalu menyerahkan sebuah
amplop sedang. Setelah itu, keduanya akan pamit, dan mohon izin untuk datang
kembali di jadwal kunjungan berikutnya. Mereka selalu begitu, sejak beberapa
puluh tahun yang lalu.
***
Ambin reot itu terus menyimak keseriusan percakapan Mbah
Rekso dan Mbah Pani. Ambin itu kerap menduga-duga, kira-kira apa yang sedang
didialoggkan oleh mereka. Ambin itu seperti berbicara, lalu melempar senyum. Ia
terbawa bahagia oleh arus keceriaan yang mengalir deras di wajah Mbah Rekso dan
Mbah Pani. Namun tidak dengan sore itu.
“Enek opo; ada apa, Pak?” tanya Mbah Pani serius. Napasnya
tampak tidak teratur. Sementara Mbah Rekso masih membungkus dagu tuanya dengan
erat. Beberapa kali tampak menggelengkan kepala juga. Di sebalahnya, Mbah Pani
sangat sabar menunggu belahan jiwanya itu bersuara.
“Kita mulai hari ini tidak perlu lagi datang ke panti itu!”
tegas, Mbah Rekso menjawab keraguan istrinya.
“Kenapa?” kejar Mbah Pani.
“Karena kita tidak punya penghasilan lagi!”
“Pak. Enek opo; ada apa? Sampeyan ini habis mimpi apa?”
Mbah Pani tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. “Sampeyan ngomong, Pak!”
Mbah Rekso hanya menggelengkan kepala. “Mulai detik ini, kita
sudah tidak punya penghasilan lagi, Buk!” jengah, Mbah Rekso memaksa untuk
menjawab kegelisahan Mbah Pani.
“Loh, loh. Sampeyan ini bicara apa?” Mbah Pani semakin
bingung.
Ada jeda tercipta. Hening. Seperti dalam sebuah kepekatan. Bibir
mereka kelu. Banyak kalimat yang terpaksa harus digantung, tidak bisa dilepas
begitu saja. Ambin reot juga tidak kosenterasi lagi menyimak. Ia menjadi
prihatin dengan apa yang dibicarakan oleh Mbah Rekso. Puluhan tahun di sana,
ambin reot itu tak sekalipun melihat Mbah Rekso seperti sore ini.
“Pekerjaan kita selama puluhan itu ternyata pekerjaan dosa. Kita
bakal dipanggang di api neraka. Sebab sudah memberi makan anak yatim piatu
dengan uang haram.” Berat, Mbah Rekso akhirnya meluapkan apa yang mendidih di
kepala. Mbah Pani terdiam. Ia terjerembab oleh ketakutan yang ia cipta sendiri.
“Maksude piye; maksudnya bagaimana, Pak?”
“Ya pekerjaan kita sehari-hari ini dilarang agama. Apalagi menjelang
tahun baru. Jika terus melajutkan pekerjaan ini, kita bukan orang Islam lagi. Kita
menjadi Yahudi!” seru Mbah Rekso dengan sedikit amarah. mbah Pani terdiam lagi.
Lalu berusaha untuk bersuara lagi.
“Lah Sampeyan ngerti tekan ngendi; tahu dari mana,
Pak?”
“Kata orang-orang yang ada di sana,” jawab Mbah Rekso sambil
menunjuk ke arah yang tidak jelas. “Kata mereka Yahudi itu musuh Islam!”
“Lah, sekarang kita harus bagaimana? Kita makan apa? Anak-anak
kita makan apa?”
“Tidak tahu!” jawab Mbah Rekso singkat. Kemudian berdiri,
lalu berlalu dari hadapan Mbah Pani.
Mbah Pani masih belum bisa mengerti, kenapa Mbah Rekso bisa
seperti itu. Sore itu, sampai terdengar sayup-sayup azan Magrib, Mbah Pani
masih belum bisa pergi dari ambin itu.
Dan rumah yang selalu tertawa itu, sekarang sedang dirundung
sedih. Sumber kebahagiaan Mbah Pani menghilang. Ia tidak melihat Mbah Rekso di
sudut sana. Sampai malam menelan semuanya.
***
Sejak kejadian itu, Mbah Rekso dan Mbah Pani tidak pernah ke
panti lagi. Kini, keduanya sibuk memulung untuk menyambung hidup. Pekerjaan yang
mereka kerjakan sejak puluhan tahun yang lalu telah mereka lepaskan. Dan orang-orang
yang meracuni pikiran Mbah Rekso sudah tidak peduli lagi. Mereka juga tidak
memikirkan bagaiman Mbah Rekso dan Mbah Pani berbagi makanan dan saling mengaku
paling kenyang; meski faktanya keduanya sama-sama menahan lapar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar