Selasa, 31 Desember 2019

Terompet Tahun Baru Mbah Rekso




Sore itu, Mbah Rekso dan istrinya, Mbah Pani tampak serius berdiskusi. Ambin reot depan rumah mereka selalu setia menjadi saksi perbincangan mereka berdua. Biasanya, di atas ambin itu ada satu mug ukuran tanggung yang berisi teh hangat, dengan ditemani beberapa ketela goreng hasil kebun sendiri. Mereka seperti memliki jadwal rutin untuk berbagi pikiran. Selalu di sore hari sampai menjelang senja. Setelah itu, keduanya bergegas mengambil air wudhu, kemudian mereka berdiri depan-belakang dengan jarak yang hanya sehasta.
Mbah Rekso dan Mbah Pani adalah dua pasangan yang selalu terlihat tanpa kesedihan. Wajahnya yang keriput selalu mengabarkan jika keduanya sudah mengalahkan dunia, dan mampu berdamai dengan hati. Kedua pasangan ini tidak memiliki keturunan. Sejak menikah dulu, keduanya sudah tahu tentang masa depan pernikahannya. Bagi keduanya, puncak tertinggi cinta adalah persembahan, bukan pengharapan. Baik Mbah Rekso, dan Mbah Pani adalah dua manusia yang telah merdeka; muksa dari hiruk-pikuk dan segala keruwetan yang dibungkus rapi dalam wujud nafsu.
Mbah Rekso dan Mbah Pani anaknya banyak, gumam beberapa orang yang sedang main gaple di gardu desa. Iya, benar. Sahut yang lainnya. Setiap sore, tiga kali dalam seminggu, Mbah Rekso dan Mbah Pani selalu berkunjung ke Surga Alit; sebuah panti asuhan yang berjarak empat kilometer dari rumah keduanya. Mbah Rekso dan Mbah Pani selalu tampak tergesa ketika jadwal kunjungan itu telah tiba. Jalan keduanya tidak bisa tenang. Ada rindu yang harus diterimakasihi. Begitu kata keduanya.
Ketika sudah sampai di Surga Alit, Mbah Rekso dan Mbah Pani selalu kelihatan berkaca-kaca. Tapi itu bukan kesedihan, atau sekadar bentuk protes kepada takdir, tapi itu adalah visualisasi kebahagiaan yang tidak bisa mereka verbalkan. Kemudian mereka akan berlama-lama di bawah beringin yang rindang; yang berdiri kukuh di samping panti asuhan itu. Dan setelah rindu terbayar lunas, keduanya akan bergegas ke ruangan pengurus lalu menyerahkan sebuah amplop sedang. Setelah itu, keduanya akan pamit, dan mohon izin untuk datang kembali di jadwal kunjungan berikutnya. Mereka selalu begitu, sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
***
Ambin reot itu terus menyimak keseriusan percakapan Mbah Rekso dan Mbah Pani. Ambin itu kerap menduga-duga, kira-kira apa yang sedang didialoggkan oleh mereka. Ambin itu seperti berbicara, lalu melempar senyum. Ia terbawa bahagia oleh arus keceriaan yang mengalir deras di wajah Mbah Rekso dan Mbah Pani. Namun tidak dengan sore itu.
Enek opo; ada apa, Pak?” tanya Mbah Pani serius. Napasnya tampak tidak teratur. Sementara Mbah Rekso masih membungkus dagu tuanya dengan erat. Beberapa kali tampak menggelengkan kepala juga. Di sebalahnya, Mbah Pani sangat sabar menunggu belahan jiwanya itu bersuara.
“Kita mulai hari ini tidak perlu lagi datang ke panti itu!” tegas, Mbah Rekso menjawab keraguan istrinya.
“Kenapa?” kejar Mbah Pani.
“Karena kita tidak punya penghasilan lagi!”
“Pak. Enek opo; ada apa? Sampeyan ini habis mimpi apa?” Mbah Pani tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. “Sampeyan ngomong, Pak!”
Mbah Rekso hanya menggelengkan kepala. “Mulai detik ini, kita sudah tidak punya penghasilan lagi, Buk!” jengah, Mbah Rekso memaksa untuk menjawab kegelisahan Mbah Pani.
“Loh, loh. Sampeyan ini bicara apa?” Mbah Pani semakin bingung.
Ada jeda tercipta. Hening. Seperti dalam sebuah kepekatan. Bibir mereka kelu. Banyak kalimat yang terpaksa harus digantung, tidak bisa dilepas begitu saja. Ambin reot juga tidak kosenterasi lagi menyimak. Ia menjadi prihatin dengan apa yang dibicarakan oleh Mbah Rekso. Puluhan tahun di sana, ambin reot itu tak sekalipun melihat Mbah Rekso seperti sore ini.
“Pekerjaan kita selama puluhan itu ternyata pekerjaan dosa. Kita bakal dipanggang di api neraka. Sebab sudah memberi makan anak yatim piatu dengan uang haram.” Berat, Mbah Rekso akhirnya meluapkan apa yang mendidih di kepala. Mbah Pani terdiam. Ia terjerembab oleh ketakutan yang ia cipta sendiri.
Maksude piye; maksudnya bagaimana, Pak?”
“Ya pekerjaan kita sehari-hari ini dilarang agama. Apalagi menjelang tahun baru. Jika terus melajutkan pekerjaan ini, kita bukan orang Islam lagi. Kita menjadi Yahudi!” seru Mbah Rekso dengan sedikit amarah. mbah Pani terdiam lagi. Lalu berusaha untuk bersuara lagi.
“Lah Sampeyan ngerti tekan ngendi; tahu dari mana, Pak?”
“Kata orang-orang yang ada di sana,” jawab Mbah Rekso sambil menunjuk ke arah yang tidak jelas. “Kata mereka Yahudi itu musuh Islam!”
“Lah, sekarang kita harus bagaimana? Kita makan apa? Anak-anak kita makan apa?”
“Tidak tahu!” jawab Mbah Rekso singkat. Kemudian berdiri, lalu berlalu dari hadapan Mbah Pani.
Mbah Pani masih belum bisa mengerti, kenapa Mbah Rekso bisa seperti itu. Sore itu, sampai terdengar sayup-sayup azan Magrib, Mbah Pani masih belum bisa pergi dari ambin itu.
Dan rumah yang selalu tertawa itu, sekarang sedang dirundung sedih. Sumber kebahagiaan Mbah Pani menghilang. Ia tidak melihat Mbah Rekso di sudut sana. Sampai malam menelan semuanya.
***
Sejak kejadian itu, Mbah Rekso dan Mbah Pani tidak pernah ke panti lagi. Kini, keduanya sibuk memulung untuk menyambung hidup. Pekerjaan yang mereka kerjakan sejak puluhan tahun yang lalu telah mereka lepaskan. Dan orang-orang yang meracuni pikiran Mbah Rekso sudah tidak peduli lagi. Mereka juga tidak memikirkan bagaiman Mbah Rekso dan Mbah Pani berbagi makanan dan saling mengaku paling kenyang; meski faktanya keduanya sama-sama menahan lapar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...