Kamis, 23 Juli 2020

Pandemi di Tlatah Jembar


Pandemi di Tlatah Jembar

Pagi itu, Balai Cokro Kemayangan sedang bersiap menyambut tamu Agung. Mereka adalah Begawan Adiyoso dan Ndoro Ngab-Ngab. Keduanya sepakat bertemu di balai keramat peninggalan para Begawan itu. Ada dua agenda penting yang harus segera diperbincangkan. Pertama, tentang stabilitas Nasional Tlatah Jembar. Kedua, tentang pandemi yang belum mau pergi.
Memang, sejak keduanya bertemu di rumah Begawan Kuning, Begawan Adiyoso dan Ndoro Ngab-Ngab bersepakat untuk berhenti berseteru. Bahkan, dengan sikap kesatrianya, Ndoro Ngab-Ngab ‘sangat’ bersedia jika diminta dan dibutuhkan oleh Begawan Adiyoso untuk bersama-sama membangun Tlatah Jembar. Meski akibatnya, Ndoro Ngab-Ngab menjadi musuh nomor satu dari orang-orang gagal move on. Mereka adalah orang-orang yang merasa paling berdarah-darah dalam memperjuangakan Ndoro Ngab-Ngab untuk bisa menjadi pemimpin Tlatah Jembar. Namun belakangan, sejak Ndoro Ngab-Ngab bersedia berdamai dengan Begawan Adiyoso, orang-orang ini pecah kongsi. Mereka menyingkir. Mencari inang baru. Dan, mereka inilah yang berkali-kali dikatakan oleh Maton sebagai penumpang gelap. Parasit. Tidak mutualisme. Bagus, jika mereka hilang. Begitu bisik Maton berkali-kali di heningnya kuping Ndoro Ngab-Ngab.
***
Anggoro baru saja keluar dari rutinitasnya bersamadi. Sudah tiga hari ini ia berada di kamar gurunya. Dalam keheningan yang panjang, Anggoro terus mencoba menfasirkan apa yang disampaikan gurunya pagi buta itu. Masih segar di telinga Anggoro, jika Tlatah Jembar akan dilanda kabut. Pagebluk. Banyak penduduk Tlatah Jembar yang akan tumbang. Kengerian demi kengerian akan menguasai segalanya.
Sebenarnya, Anggoro sudah mulai menyambungkan pesan gurunya itu. Sebab, di ujung sana, di tlatah seberang, sudah banyak orang yang tiba-tiba saja mengejang, menggigil, susah bernapas, dan pada akhirnya tumbang. Tapi pikir Anggoro, apa yang terjadi di tlatah seberang tersebut bukan bagian dari pesan gurunya. Namun, Anggoro salah membuat simpulan.
Kini, Tlatah Jembar mulai dirundung duka. Kentongan pertanda bencana meraung-raung di banyak tempat. Kentongan di Tlatah Jembar itu dikeramatkan seperti Balai Cokro Kemayangan. Pesan para Begawan terdahulu bahwa warga Tlatah Jembar tidak boleh membunyikan kentongan selain untuk dua hal: Pagebluk dan Pertanda waktu ibadah. Ketukannya juga harus dibuat berbeda. Maka, sore itu, warga yang mendengar raungan kentongan itu, sudah bisa menduga jika Tlatah Jembar dalam kepungan duka. Mereka saling merapatkan tubuh. Lalu meratap. Jeritan mereka mengiris-iris hamparan tanah para Begawan yang selalu disucikan itu.
Langit di ujung sana tampak menggantung bosan. Senja yang biasa berpeluk mesra tidak secantik biasanya. Kegelisahan mereka sama. Anggoro mematung di ambin reot yang sejak dulu menjadi pelungguhan gurunya. Di ambin itu, kerap kali gurunya tiba-tiba saja memberi beberapa nasihat. Dan sore itu, ia sangat berharap nasihat itu ada lagi. Detik, perlahan menjelma menit. Lalu mewujud menjadi hitungan jam. Ia hanya menunggu malam yang datang lebih cepat. Sang Guru benar-benar tidak ada di sana. Anggoro seperti ingin muksa. Namun ia sadar tentang derajat batinnya.
***
Dua manusia Agung di Balai Cokro Kemayangan sedang serius berbincang. Beberapa punggawa pemerintahan Tlatah Jembar tampak khidmat menyimak. Mereka tidak ingin ketinggalan momen dan sabda dari dua manusia yang paling dihormati di tlatah itu.
“Jadi, sejak para napi itu mendapat ampunan, stabilitas di tlatah ini menjadi terganggu. Banyak dari mereka yang tidak bisa berterima kasih. Setidaknya ini yang saya dengar dari masyarakat. Beritanya sudah viral. Kita dianggap telah salah langkah. Apakah benar demikian, Ndoro Ngab-Ngab?”
“Siap, Sinuhun! Saya juga mendengar kabar itu. Bahkan hampir semua media sosial di tlatah ini kompak mem-blow up kabar yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar itu. Telik sandi andalan saya sudah menyebar ke seluruh penjuru tlatah ini. Mereka bisa dikendalikan dengan sangat mudah.” Tenang, penuh wibawa, Ndoro Ngab-Ngab menjawab kegelisahan Begawan Adiyoso. “Sinuhun tidak perlu berlebihan merespon kabar itu. Saya bisa memastikan, jika stabilitas Tlatah Jembar akan tetap baik-baik saja,” lanjut Ndoro Ngab-Ngab meyakinkan.
“Terima kasih atas dedikasi Ndoro Ngab-Ngab. Lalu bagaimana dengan pandemi ini. Bagaimana laporan BIN terbaru?”
Ndoro Ngab-Ngab menghela napas panjang. Tidak lekas memberikan jawaban atas pertanyaan Begawan Adiyoso yang kedua. Sebab ia tahu. Pandemi ini menjadi sangat rumit untuk dibincangkan. Tlatah Jembar memang negeri para Begawan. Dibangun atas dasar rapalan mantra suci. Namun, seiring perubahan zaman, heteroginitas masyarakat tidak serta merta bisa dihentikan begitu saja.
Ndoro Ngab-Ngab sadar betul, jika Tlatah Jembar tetap akan baik-baik saja. Gesekan-gesekan yang terjadi di masyarakat tidak akan pernah bisa memecah negeri yang makmur ini. Tapi yang menjadi kekhawatiran di hati Ndoro Ngab-Ngab adalah ulah konyol masyarakat yang nota bene adalah orang-orang yang sejak kecil merapal Aksoro Suci Sabdo Pandito dari para Begawan Tlatah Jembar.
“Pandemi ini masih belum bisa dikatakan mereda secara signifikan, Sinuhun. Akan tetapi di beberapa daerah sudah mengalami penurunan yang tajam. Ada beberapa daerah yang memiliki tingkat kesembuhan yang sangat tinggi, yakni hampir mencapai 95%. Tingkat ketakutan masyarakat juga menurun dan berbanding terbalik dengan tingkat kesadaran masyarakat yang meningkat secara drastis.” Tegas, Ndoro Ngab-Ngab mengurai jawaban. Begawan Adiyoso mendengar dengan seksama sambil membungkus dagunya yang tidak pernah bisa tumbuh rambut. “Namun ada laporan masuk, Sinuhun. Ketidaktakutan masyarakat yang turun bukan karena pandemi yang mulai mereda, tapi mereka tidak takut karena menganggap pandemi ini hanyalah buah konspiarsi kapitalis. Kejadian sekarang ini persis dengan kejadian kali pertama pandemi ini menyerang tlatah ini.” Ada kejengahan dan kejengkelan yang berkolaborasi di wajah Ndoro Ngab-Ngab. Begawan Adiyoso segera menangkap apa yang ada di wajah pembantunya itu.
“Lalu apa penyebabnya?” Tanya Begawan Adiyoso cepat. Ia menggeser tubuh kurusnya untuk lebih mendekat kepada Ndoro Ngab-Ngab.
Ndoro Ngab-Ngab menggeleng pelan. Lalu mulai menata kalimat lagi.
“Ada beberapa rumah sakit yang memaksa keluarga pasien untuk mengaku sebagai korban pandemi. Ini sangat memalukan. Garda terdepan kita dalam penanggulangan pandemi ini malah menjadi aktor dari semua keruwetan ini. Dan semua ini bocor di masyarakat, Sinuhun.”
“Tidak bisa dibiarkan. Segera selesaikan. Saya tidak ingin kasus ini semakin membesar. Sementara untuk para Begawan yang apatis terhadap pandemi ini, diamkan!”
Wajah Begawan Adiyoso sedikit memerah. Kerut di keningnya berjingkrak histeris. Jengah, marah, khawatir ditelan semua oleh Begawan yang sudah dua periode memimpin Tlatah Jembar itu. Tubuh kurusnya semakin tampak memprihatinkan. Sangat kontras dengan tubuh Ndoro Ngab-Ngab yang semakin tampak subur.
“Lalu bagaimana dengan kasus klepon kemarin?”
Ndoro Ngab-Ngab ditelan hening.
***
Tiba-tiba saja Lek Kijo menepuk bahu Anggoro yang malam itu tidur lebih cepat. Ia tergagap bangun. Dan berusaha mencium tangan putih gurunya.
Pakaian yang dikenakan Lek Kijo tidak seperti biasanya. Kali ini, ia mengenakan jubah warna hijau. Teduh, tenang, mengayomi.
“Apa kabar Anggoro?”
“Baik, Guru.” Dua mata Anggoro tiba-tiba sembab. Rindu itu berubah menjadi buliran air yang ditahan mati-matian agar tidak segera jatuh. Kewaskitaan Lek Kijo memang bisa dipertanggungjawabkan. Benar, tiap hati Anggoro dihantam cemas, Lek Kijo selalu keluar dari kemuksaannya untuk menemui murid kinasihnya.
“Jangan khawatir. Begawan Adiyoso itu orang yang bijaksana. Aku melihatnya di Nirwana sana. Ia serius memerangi pagbeluk ini. Tapi cobaannya begitu berat. Banyak orang di sekitarnya yang ingin Begawan Adiyoso menyudahi tugasnya sebagai pemimpin tertinggi Tlatah Jembar. Banyak pembantunya yang bekerja tidak sesuai espektasi. Dan itu mereka sengaja.” Dua mata Lek Kijo menerawang jauh. Tidak jelas arahnya. Sementara di sebelahnya, Anggoro sudah tidak bisa menahan air matanya lagi.
“Lalu bagaimana lagi?” tanya Anggoro sambil sesenggukan.
“Pagebluk akan segera berlalu. Tapi akan ada badai berikutnya. Bani Katimin akan keluar dari persembunyiannya. Ia akan membuat peperangan besar di Tlatah Jembar. Kau harus lebih rajin merapal wirid lagi. Rajin bersamadi lagi. Jika Sang Hyang Tunggal berkehendak, Ia akan melemparkanku lagi ke dunia fana’ ini.”
Anggoro tiba-tiba saja rubuh. Ia mendapati tubuh ringkihnya sudah di ambin reot. Keesokan harinya.



Rabu, 22 Juli 2020

KETIKA ISTRIKU BERUBAN


KETIKA ISTRIKU BERUBAN

Pagi itu, sekitar seminggu yang lalu. Ada kehebohan kecil di kamar. Kupingku, sayup-sayup, mendengar suara halus; yang berjarak hanya beberapa senti. Aku hapal. Itu suaramu. Membangunkanku, lalu menggoyang-goyangkan pundakku. Ia berharap, aku segera utuh. Lepas dari jeratan dunia mimpi. Iya, kataku. Sambil memaksa dua mata ini membuka lebar. Ia tersenyum. Manis sekali. Hampir saja butir air mataku jatuh. Ia masih sama. Dan aku jatuh cinta setiap menatapnya. Ia cantik. Seperti siluet yang tiap malam mampir ke dunia tidurku. Tak berubah, sejak tiga belas tahun yang lalu.
Ia merapatkan tubuhnya. Wanginya mendarat cepat di hidungku. Gerai rambutnya menyemai harapan yang sama. Aku bahagia; jutaan kali. Kerap aku bertanya: Kebaikan apa yang telah kuwakafkan, sampai-sampai Tuhan mengirimmu untuk melengkapi nyawaku? Tak pernah terjawab. Menggantung begitu saja. Dan semua berakhir pada satu kata: entahlah!
Ada apa? Ia tersenyum. Lihat ini! Ia menunjukkan kepalan tangan. Tebak! Pintanya girang. Keningku berkerut. Menduga-duga apa yang ada di genggaman tangan itu. Aku terbang jauh ketika itu. Lalu masuk pada sebuah sore di sekitar Panderman, 10 tahun yang lalu. Kala itu, ia juga menunjukkan genggaman. Ia juga memintaku menebak. Kataku dulu, bahwa yang kau genggam adalah takdir kita. Kau tiba-tiba saja tertawa kecil, lalu segera menangis. Benar, di genggamannya adalah sebuah gambar yang tak terlalu bagus. Namun maknanya begitu tajam. Menusuk ulu hati kami. Itu takdir kami. Kami begitu lelah ketika itu. Sudah hampir delapan tahun menjahit cinta, tapi baju kami belum juga selesai. Dan kami harus mengayuh lagi. Jalan itu masih teramat jauh. Belum tampak ada yang berkenan menghentikan kami. Aku genggam tangannya erat: Apa pun yang terjadi, aku tak akan pernah menyerah. Mereka menyayangi kita, begitu juga Tuhan. Semuanya hanya ingin kita bersabar. Sebentar lagi.
Cepat tebak! Pintanya lagi. Masih girang. Aku tergagap. Buyar semua anganku. Aku diam sejenak. Menangkup dagu. Aku kurang fokus pada tebakannya. Sebab aku telah tersandera oleh sayu matanya yang serupa surga. Aku menyerah. Aku menggeleng pelan. Aku tidak bisa kali ini, Sayang! Kataku. Ia cemberut. Lalu membuka genggaman. Aku beruban! Katanya lirih. Butir air mataku lolos juga. Tak bisa lagi kudiamkan. Aku memeluknya erat. Kulirik sebentar, di pipinya juga ada rintik; bening. Kami berpelukan lama. Tak sempat kami menghitung detik yang beringsut maju. Bahkan, Ai; jagoan kecil kami sempat membuka mata sebentar. Mencoba bangun, namun gagal.
***
Biarkan ia memutih. Menyemai kebijaksanaan. Kelak, kita akan pungut bersama. Di beranda. Bersama mereka; cucu-cucu kita yang lucu. Juga cericit sore yang terlambat pulang.


Rabu, 15 Juli 2020

BENING JINGGA


BENING JINGGA

Sebelum Bunda meninggal, ia mengatakan jika aku mempuyai saudara kembar. Ia adalah Jingga. Kelahiran kami berada di waktu yang sama. Hanya beda detik, katanya.
Apa yang dikatakan Bunda serupa wasiat. Sebab itu, sudah kubulatkan niat untuk mencari Jingga. Tapi dunia ini teramat luas. Dunia ini juga membingungkan. Sedangkan mata kakiku tidak punya radar sakti. Aku seperti berada di dalam peta buta. Tak ada huruf. Tak ada pertanda. Semua terlihat putih. Begitu menyilaukan mata.
“Kamu jangan gila, deh! Kamu itu ganjil, bukan genap!” seru Dara, kekasihku.
“Kamu punya aku! Kamu pernah kehilangan saudaramu?” tanyaku sambil melepas tangannya yang melingkari leherku.
“Terserah kamu. Tapi kamu harus ingat, kita ini punya komitmen!” Dara berseru lagi. Aku memilih bungkam. Aku tidak ingin bertengkar dengannya saat itu.
“Sudahlah. Aku mau pulang. Aku capek!” Aku menutup pintu kamarnya keras-keras. Aku tidak peduli lagi dengan amarahnya.
Aku menoleh sejenak. Dara tidak membuka pintu kamarnya. Aku menghela napas lega.
Dara memang kekasihku. Namun untuk urusan Jingga, ia seperti musuh. Kegilaannya pada tubuhku membuat Dara lupa segalanya.
Aku dan Dara sudah hampir dua tahun merajut cinta. Kami sama-sama sepakat untuk saling mencintai sampai akhir hayat. Struktur anatomi kami memang sama, tapi hati kami berjenis kelamin beda. Jantung Bunda membengkak setelah mengetahui hubungan kami. Dan, setahun berikutnya Bunda tutup usia. Bunda belum sempat memaafkan kami.
Aku segera memasukkan mobil ke garasi di samping rumah. Kemudian kusegerakan mengguyur tubuhku dengan air hangat. Aku tidak ingin bekas jilatan Dara menemaniku merindukan Jingga.
Rambutku masih basah saat aku duduk memandangi langit dari atas balkon. Malam itu, langit penuh dengan gemintang. Rembulan juga hampir penuh. Beberapa hari ke depan, bulan yang kutangkap malam itu akan mempunyai nama baru: Purnama. Namun Jingga tidak ada di sana.
Aku segera menenggak minuman dingin yang beralkohol itu. Kepalaku sedang buntu. Jeritan Jingga sangat keras di telingaku, tapi pintu di kepalaku tetap menutup. Aku hampir gila.
Aku terus memandangi langit. Minuman dingin beralkohol itu juga melewati tenggorokanku lagi. Namun situasi tidak berubah. Kepalaku tetap tak punya pintu.
Aku ambruk. Balkon memelukku.
***
Kepalaku masih terasa sedikit sakit. Ada luka di kening kiriku. Jatuh di lantai balkon sudah kualami berkali-kali.
Aku segera membuka tas hitamku. Ponselku sudah menyala merah. Sebentar lagi pasti padam. Namun dua mataku terbelalak hebat. Panggilan Dara sebanyak dua ratus kali menjejali layar redupnya. Aku segera memutar otak.
“Halo, Dara!” sapaku sambil menancapkan charger ke colokan yang ada di dinding.
“Kamu dari mana?” tanya Dara cepat. Suaranya terdengar sangat parau. Hatiku mendadak mendung. Aku menjadi iba dengannya.
“Kamu kenapa?” tanyaku balik.
“Aku tidak apa-apa, Sayang!” jawabnya sambil memaksa untuk tertawa. Aku semakin redup.
“Kamu sakit? Sudah makan?” Aku mencercanya dengan kekhawatiran.
“Tidak! Aku hanya kangen kamu, Sayang,” jawabnya sambil memaksa tertawa lagi.
“Aku ke sana sekarang!” Aku menutup telepon.
Aku memacu mobil secepat mungkin. Aku tahu, pagi itu aku sedang berjudi dengan waktu. Sedikit saja salah langkah, maka Dara bukan milikku lagi. Aku tidak siap dengan risiko itu.
Aku memecah kepadatan jalan dengan klakson yang kubunyikan puluhan kali. Tidak sekali dua kali mobilku diludahi. Tapi aku tidak peduli. Dara sedang sekarat di seberang sana. Aku tahu itu.
Apartemen Dara sudah terlihat di dua mataku. Tapi mobilku butuh tambahan klakson untuk segera sampai di sana. Pagi itu, kemacetan memang sedang di titik gila. Semoga malaikat maut lupa alamat apartemennya, harapku berkali-kali dalam hati.
Aku menghentikan mobil saat berada persis di depan apartemennya. Aku menghambur keluar dengan cepat. Kemudian melangkahkan dua kakiku dengan sangat terburu.
Pintu apartemennya menutup dengan rapat. Namun Dara lupa menguncinya. Aku segera masuk ke dalamnya. Napasku terasa berhenti. Tenggorokanku terasa cekat sekali. Dua mataku juga lupa berkedip. Dara tergeletak tak berdaya di lantai. Dua matanya mengatub rapat. Ada darah mengucur deras dari kepalanya.
Aku segera menyambar telepon di mejanya. Aku tidak mungkin membawanya ke rumah sakit dengan mobilku. 
Tidak lama setelahnya, ambulan meraung-raung di depan apartemen. Dara segera dimasukkan ke dalamnya. Dua kantong infus di siapkan untuknya. Dalam hitungan detik, mobil itu melesat jauh dari pandangan mataku.
Aku segera menyusul Dara ke rumah sakit yang menggengam nyawanya. Ini kali pertama aku dan Dara berhubungan dengan rumah yang penuh obat itu. Karena selama aku bersamanya, Dara tidak pernah mengalami kejadian serupa.
Dara sedang dikelilingi dokter dan para perawatnya di ruang operasi. Sementara aku duduk memaku di depan ruangan itu. Aku menatap tajam lampu yang menyala merah. Gemuruh di hatiku belum juga diam.
Hampir satu jam terlewat. Pintu ruangan itu membuka. Aku segera menghambur ke sana. Aku memeluk tubuh Dara sepanjang waktu.
***
“Kamu tahu, aku hampir putus asa dengan hidup ini!” seruku pada Dara.
“Maafkan aku, Sayang.
“Jika kamu membunuh dirimu, aku juga akan mati!” seruku lagi. Aku tidak menyadari bulir-bulir air mataku sudah berebut untuk jatuh. Dara menatapku nanar.
“Itu kecelakaan. Itu bukan bunuh diri, Sayang.
“Maksud, kamu?”
“Selepas kamu pergi, aku tidak bisa tidur. Malam itu, aku mabuk berat sampai pagi. Aku hanya ingat aku akan jatuh. Kemudian kamu telepon. Aku melihat banyak darah di lantai, setelah itu semua menjadi gelap. Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di ruangan ini.” Dara menjelaskan panjang padaku. Aku terkejut hebat. Kami jatuh di waktu yang sama. Ajaib.
Aku memeluk erat kekasihku, Dara. Kami berciuman lagi. Ternyata, Dara memang tak tergantikan.
Setelah satu bulan terlewat, kami kembali seperti biasa. Kami menjadi sepasang suami istri lagi.
“Kamu di mana?” tanyanya dari seberang sana.
“Aku di rumah. Aku sedang malas mengintip jalan raya!”
“Nikmati liburmu, Sayang! Aku berangkat dulu,” pamitnya. Telepon kemudian terputus.
Siang itu, Dara harus segera berangkat ke luar kota. Ia mendampingi bosnya meeting dengan perusahaan mitra. Dara akan menghilang dari hidupku selama tiga hari. Itu kabar yang bagus.
Sebab itu, aku mencari Jingga lagi.
Aku memberanikan diri untuk membongkar lemari di kamar Bunda. Barang-barang yang ada di sana masih tertata rapi, namun sudah banyak yang berdebu. Semenjak Bunda meninggal, kamar itu sengaja kubiarkan kosong. Dan baru hari ini aku masuk ke sana lagi.
Aku seperti orang yang kesetanan saat membongkar barang-barang Bunda. Aku juga seperti orang yang mati rasa. Tubuhku tidak merasakan lelah sedikit pun.
Sekarang, kamar Bunda seperti baru saja terkena gempa. Tapi apa yang aku cari belum ketemu. Aku menyandarkan tubuh lelahku di tembok kamar.
Saat bersandar, mataku menangkap sesuatu. Kotak kecil itu berada di kolong tempat tidur Bunda. Rasa lelahku segera menguap. Dengan cepat aku bangkit dan mengambil kotak itu.
Aku pandangi lekat-lekat kotak yang sudah kupangku. Ada keraguan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku. Aku memutuskan untuk menunda membukanya. Aku memilih keluar dari kamar Bunda. Kotak itu ada di gamitan lenganku.
Aku sangat lelah. Aku ingin segera mengguyur tubuhku lagi. Aku ingin mempunyai nyawa baru.
Entah kenapa, kotak kecil yang kutemukan di kolong tempat tidur Bunda mempunyai muatan yang berbeda dengan barang-barang Bunda yang ada di dalam lemarinya. Kotak kecil itu seperti menjanjikan sesuatu yang tidak biasa. Aku segera membukanya.
Aku menarik napasku satu kali. Dengan satu tarikan yang biasa saja, kotak kecil itu membuka. Dua mataku mendapatkan sesuatu. Aku segera mengambilnya.
Tangkapanku itu berupa amplop kecil yang sudah lusuh. Perekatnya juga sudah mulai memudar. Aku bisa dengan mudah membukanya.
Aku menadapati sesuatu. Menurutku itu bukan kejutan. Itu hanya sebuah foto lama. Gambarnya juga sudah memburam. Meski begitu, bentuk tubuh dan wajahnya masih sempurna.
Aku tahu, wajahnya sangat berbeda. Ia bukan Jingga, saudaraku.
Aku masih punya Tante Alya, adik kandung Bunda. Tante pasti tahu tentang wajah yang tidak sama itu, pikirku. Sebab itu, aku harus ke sana. Segera!
***
“Kamu menemukannya di mana?” tanya Tante Alya pelan. Aku hanya berjarak sehasta di depannya.
“Di kamar Bunda, Tante. Ia siapa?”
Ia adalah Jingga. Ia anak kandung Tante. Cepat, Tante Alya menjawab pertanyaanku.
“Kok, bisa sama aku, Tan?”
“Panjang ceritanya,” jawab Tante dengan wajah sedikit redup. “Tante bersalah sama Bundamu, Bening.” Mata Tante Alya berkaca-kaca.
“Apa salah Tante?” tanyaku cepat.
“Tante mengandung benih Ayahmu. Jingga, saudaramu!” jawab Tante sambil menangis.
“Jadi …” Aku hampir tidak bisa menguasai diriku.
“Maafkan Tante, Nak,” kata Tante Alya memelas.
“Di mana ia sekarang, Tan?” kupaksa diriku bertanya.
“Entahlah. Sejak umur satu tahun, Bundamu menyerahkan Jingga pada Tante lagi. Suara Tante Alya sangat parau. Aku menjadi merasa iba dengannya.
“Kok, bisa begitu, Tan?”
“Ayahmu yang menginginkan itu. Tapi saat Jingga umur lima belas tahun, ia meninggalkan Tante. Tante terlambat bercerita tentang Ayah kandungnya.
Ia sudah tahu semuanya?”
“Belum.” Tante menggeleng. “Tunggu sebentar,” pinta Tante sambil berlalu dariku. Tante menuju kamarnya. Aku hanya bisa terpaku dengan semua penjelasan Tante Alya.
Satu menit terlewat, Tante Alya sudah di depanku lagi.
“Ini foto terakhir Jingga!” Tante menyerahkan sebuah foto kusam padaku.
“Dara …” Aku hanya bisa berbisik. Petir itu telah menghantam kepalaku. Bibirku menjadi kelu. Hatiku perih sekali. Air mataku memaksa untuk jatuh. Tapi tidak pernah kubiarkan. Ia tertahan.
“Dara?”
“Hm. Tidak, Tante. Bukan … Bukan …, aku berkilah.
“Ada apa, Bening?”
“Bening pamit dulu Tante!” kataku buru-buru.
Langkahku sangat cepat. Kutinggalkan Tante Alya dengan kening yang penuh tanda tanya.
Petir masih menyambar-nyambar di kepalaku.
***
Aku memutuskan untuk meninggalkan Dara tanpa ia tahu sebabnya. Aku tidak ingin merasakan kepedihan lagi. Aku juga tidak ingin merasakan sanggama dengannya lagi. Dara dan aku berasal dari daging yang sama. Ayah kami binatang!
Sejak saat itu, aku tidak tahu lagi tentang Dara. Aku harus membunuhnya, meski aku sendiri yang akan mati.
Aku mati. Malam ini. Di kamar ini. Selamat tinggal, Dara.


Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...