Senin, 13 September 2021

Namaku: Lintang Surup



Mereka memanggilku: Lin, dan juga kadang Tang. Tapi lebih sering Lin. Jika lengkap mereka kepayahan.

Lintang mempunyai arti bintang atau gemintang. Surup adalah sore; yang identik dengan gelap. Jika digabung mempunyai arti “Lentera Kegelapan”.

Lahirku siang, bukan pertanda pemberani. Sebab, pemberani pasti lahir dini hari. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku buncit. Itu bukan untuk perut. Namun untuk angka akhir dari sebuah keluarga. Buncit artinya akhir.

Aku memang bukan pemberani, karena aku takut sekali dengan gelap. Apa lagi dengan cerita-cerita horor.

Jo membenarkan,

“Tidurmu mengatub rapat!”

Apa hubungannya?

Jo bilang, jika orang-orang itu tidur dan matanya tidak mengatub sempurna maka mereka adalah pemberani, kurang percaya dongeng, dan bersahabat dengan yang gaib; yang tak kasatmata.

Aku kurang yakin. Tapi aku memang penakut. Jantung berdegub tidak beraturan saat bertemu hantu; tapi tak sekencang ketika bertemu dengan perempuan penabur rindu itu.

Tapi hantu itu siapa? Siapa mereka?

Hantu banyak versi. Aku tahu hantu dari Lamiran. Ia dukun. Bukan, tapi ia di-dukun-kan. Aku merasa geli. Itu penamaan kurang beretika. Tapi ia suka.

Lamiran –selebihnya aku memanggilnya Mbah Dukun- bertubuh ceking, kurus. Sekarang ia tidak mau minum kopi. Air putih saja. Itu perintah katanya. Aku mengangguk pelan. Tapi tidak sepenuhnya setuju. Aku hanya ingin suasana baik-baik saja. Tak ada kegaduhan.

Mbah Dukun suka sekali bercerita tentang hantu padaku.

“Hantu suka sembunyi di pepohonan,” ujarnya serius.

Ia menambahkan, hantu itu akan terlihat jika kita takut padanya. Jadi jangan pernah takut pada hantu. Sebab kita lebih mulia. Namun hantu juga –kadang- suka bersahabat dengan kita.

“Apa sejenis pesugihan, Mbah?” tanyaku.

Mbah Dukun membenarkan pendapatku. Hantu pesugihan itu adalah hantu yang kooperatif; bagi hasil, dan mempunyai jiwa bisnis yang tinggi. Hantu seperti itu biasanya banyak dikenang orang.

Sejenis tuyul? Itu termasuk. Tapi tuyul tidak memiliki hierarki yang bagus. Ia berkasta sudra.

“Mbah punya bukti?”

Ada, kata Mbah Dukun. Tuyul hanya mengenakan cawat. Tidak pakai celana dalam. Punya penis, Mbah? Punya. Masih ada kulupnya. Tuyul tidak khitan.

Tapi Tuyul itu mempunyai strategi yang jitu. Selain persembahan kembang setaman, ia juga minta jatah menetek. Tuyul akan berbagi tetek istrimu. Jika kamu sedang menetek teteknya sebelah kiri, maka tuyul sebelah kanan. Gantian. Sebab itu istrimu kadang menjadi kurus. Susunya habis. Kelenjarnya menyusut.

“Tuyul kadang juga minta kelamin!”

Ah, masak. Aku terkejut hebat. Itu tidak kooperatif. Itu adalah parasitisme. Tuyul mengambil semuanya.

Benar, memang begitu. Kata Mbah Dukun geram.

“Sebab itu, jangan pernah membuat perjanjian dengan hantu. Itu sangat memberatkan,” tukasnya.

Namaku: Lintang Surup.      

Mahasiswa Sastra Arab angkatan 2003. Aku suka mengenakan celana jeans yang sedikit robek. Atau sudah pudar warnanya. Di semester pertama, aku putus asa. Sebab pelajaran yang kudapat seperti gergaji. Mengiris-iris. Pedih.

Aku Lin. Masuk jurusan Sastra Arab karena tradisi: Bisa baca kitab kuning. Sebab Ayahku bisa baca kitab kuning. Sebab aku ada di keluarga santri. Sebab Ayahku Kiyai, itu katanya. Dan aku harus meneruskan pesantren warisan itu. Ah, sial!

Aku Lin. Mempunyai hobi membaca dan membuat puisi. Aku membaca apa saja, asal itu huruf Indonesia. Bukan Arab atau Suryani yang menakutkan itu. Aku membuat puisi jika aku bersedih, rindu dengan seseorang, dan tidak punya uang. Namun puisiku menjijikkan.

Aku Lin. Di jurusan, aku mempunyai geng. Tapi bukan geng. Karena kami tidak suka ngrumpi atau tawuran masal. Rojal menyebutnya bolo dewe. Selain Rojal, kami terdiri dari Hilal, Vina, Firas dan Fanani. Tapi Vina adalah cowok. Tubuhnya tinggi ceking. Berjenggot empat helai. Ia mahir komputer. Ia lulusan SMK-PAL. Aneh, Sastra Arab seperti tersesat. Satu lagi, namanya adalah Sugeng. Pendiam. Kalem. Tapi suka meneriaki Tuhan saat berorasi di jalan: Allahu Akbar!

Aku Lin. Paling akrab dengan Hilal. Sebab kami sama-sama tidak suka dengan OSPEK. Menurutnya, itu kegiatan aneh. Menyulut emosi. Aku setuju.

Berikutnya aku akrab dengan Vina. Ia bernama Vivin Biantoro. Namun lebih seksi jika kupanggil Vina. Ia menjadi jin penjaga SAC, self acces center: sebuah fasilitas yang berisi bermacam kebutuhan bagi mahasiswa jurusanku. Foto kopi juga. Bahkan, ada beberapa yang memanfaatkannya untuk terlelap. Ia adalah aku. Kadang juga Hilal. Rojal, Fanani, Firas tidak berani.

Aku Lin. Firas dan Fanani menjadi akrab denganku karena mereka cemburu melihat kedekatanku dengan Hilal. Mereka menuduh kami mesra, cipika-cipiki, saling menggenggam tangan. Firas dan Fanani beruang. Orang tua mereka kelebihan uang. Aku sering-sering dibelikan makan. Bahkan juga diajak jalan-jalan dengan mobilnya. Namun aku tak pernah menyebutnya sebuah sogokan. Itu Tuhan yang ngatur.

Aku Lin. Sugeng adalah karibku, lawan debatku, penceramah handal. Sugeng mempunyai cita-cita yang hebat; mengembalikan kejayaan Islam. Sugeng kerap kali mengkritik cara bicaraku, rambutku, pakaianku, dan isi otakku yang –katanya- sekuler. Namun setelah kuberi pelukan dan kecupan hangat, Sugeng tidak begitu lagi. Ia selalu bertanya satu hal: Kapan ngopi?

Namaku: Lintang Surup

Aku miskin. Namun cita-citaku adalah menjelajah Eropa. Ingin merasakan bagaimana bola salju berjatuhan seperti daun lamtoro tertepa angin. Di Eropa aku akan menyaksikan peradaban dunia. Merasakan denyut nadi pemikir-pemikir sekelas Hitler. Ia diktator. Tapi ia pemikir. Lenin dan Stalin juga. Begitu juga dengan Freud yang tidur abadi di Viena. Aku ingin di sana. Tapi bukan melantunkan doa. Ia Freud, ia mengatakan tentang umat beragama yang mirip pasiennya. Mungkin dianggap setengah gila. Sebab itu aku akan menumpahkan sedikit serapah di pusarannya.

Aku Lin. Setuju dengan Karen Horney. Juga dengan Kartini. Bagiku mereka berdua memiliki derajat yang sama. Hanya saja tempat lahirnya beda. Aku begitu tertarik dengan pemikiran Horney yang mencoba mengimbangi dominasi laki-laki yang didukung penuh oleh Freud. Pun dengan Kartini dengan catatan hariannya; Habis Gelap Terbitlah Terang, yang pada intinya wanita harus menjadi sumber cahaya. Seperti mentari, atau lentera bagi jalanmu yang terlampau pekat.

Aku tergila-gila dengan Farazdaq dan juga Al Ghazali. Puisi-puisi Farazdaq membuatku hanyut, larut. Ia berbicara tentang ia. Tentang Sang Rupawan itu. Sang Syahid Karbala. Ia Husain; penggenggam kebenaran. Cucu dari manusia paling mulia. Ia putra Ali. Sahabat mulia dari manusia mulia. Ialah Nabinya Nabi; Muhammad saw. Setelah itu adalah Al Ghazali; sang pemintal cahaya Tuhan. Ia damar, dimar. Pembangkit jiwa yang mati. Ia memberi jalan. Keterlibatannya dengan argumen filsuf Athena membuatku tak berkata-kata. Ia penerjemah harakat masa. Penelaah gundah gulana, sepertiku, sepertimu.

Namaku: Lintang Surup. Sekian!

 

  



2 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...