Mereka
memanggilku: Lin, dan juga kadang Tang. Tapi lebih sering Lin. Jika lengkap
mereka kepayahan.
Lintang
mempunyai arti bintang atau gemintang. Surup adalah sore; yang identik dengan gelap. Jika
digabung mempunyai arti “Lentera
Kegelapan”.
Lahirku siang,
bukan pertanda pemberani. Sebab, pemberani pasti lahir dini hari. Aku anak
ketiga dari tiga bersaudara. Aku buncit. Itu bukan untuk perut. Namun untuk
angka akhir dari sebuah keluarga. Buncit artinya akhir.
Aku memang
bukan pemberani, karena aku takut sekali dengan gelap. Apa lagi dengan
cerita-cerita horor.
Jo
membenarkan,
“Tidurmu
mengatub rapat!”
Apa
hubungannya?
Jo bilang,
jika orang-orang itu tidur dan matanya tidak mengatub sempurna maka mereka
adalah pemberani, kurang
percaya dongeng, dan bersahabat
dengan yang gaib; yang tak
kasatmata.
Aku kurang yakin. Tapi aku memang
penakut. Jantung berdegub tidak beraturan saat bertemu hantu; tapi tak sekencang ketika bertemu dengan perempuan
penabur rindu itu.
Tapi hantu itu
siapa? Siapa mereka?
Hantu banyak
versi. Aku tahu hantu dari Lamiran. Ia dukun. Bukan, tapi ia di-dukun-kan.
Aku merasa geli. Itu penamaan kurang beretika. Tapi ia suka.
Lamiran
–selebihnya aku memanggilnya
Mbah Dukun- bertubuh ceking, kurus. Sekarang ia tidak mau minum kopi. Air putih
saja. Itu perintah katanya. Aku mengangguk pelan. Tapi tidak sepenuhnya setuju.
Aku hanya ingin suasana
baik-baik saja. Tak ada
kegaduhan.
Mbah Dukun
suka sekali bercerita tentang hantu padaku.
“Hantu suka
sembunyi di pepohonan,”
ujarnya serius.
Ia
menambahkan, hantu itu akan terlihat jika kita takut padanya. Jadi jangan
pernah takut pada hantu.
Sebab kita lebih mulia. Namun hantu juga –kadang- suka bersahabat dengan kita.
“Apa sejenis
pesugihan, Mbah?” tanyaku.
Mbah Dukun
membenarkan pendapatku. Hantu pesugihan itu adalah hantu yang kooperatif; bagi hasil, dan
mempunyai jiwa bisnis yang tinggi. Hantu seperti itu biasanya banyak dikenang
orang.
Sejenis tuyul?
Itu termasuk. Tapi tuyul tidak memiliki hierarki yang bagus. Ia berkasta sudra.
“Mbah punya
bukti?”
Ada, kata Mbah
Dukun. Tuyul hanya mengenakan cawat. Tidak pakai celana dalam. Punya penis,
Mbah? Punya. Masih ada kulupnya. Tuyul tidak khitan.
Tapi Tuyul itu mempunyai strategi yang
jitu. Selain persembahan kembang setaman, ia juga minta jatah menetek. Tuyul
akan berbagi tetek istrimu. Jika kamu sedang menetek teteknya sebelah kiri,
maka tuyul sebelah kanan. Gantian. Sebab itu istrimu kadang menjadi kurus.
Susunya habis. Kelenjarnya menyusut.
“Tuyul kadang
juga minta kelamin!”
Ah, masak. Aku
terkejut hebat. Itu tidak kooperatif. Itu adalah parasitisme. Tuyul
mengambil semuanya.
Benar, memang
begitu. Kata Mbah Dukun geram.
“Sebab itu,
jangan pernah membuat perjanjian dengan hantu. Itu sangat memberatkan,” tukasnya.
Namaku: Lintang
Surup.
Mahasiswa Sastra Arab angkatan 2003.
Aku suka mengenakan celana jeans yang sedikit robek. Atau sudah pudar warnanya.
Di semester pertama, aku putus asa. Sebab pelajaran yang kudapat seperti
gergaji. Mengiris-iris. Pedih.
Aku Lin. Masuk jurusan Sastra Arab
karena tradisi: Bisa baca kitab kuning. Sebab Ayahku bisa baca kitab
kuning. Sebab aku ada di keluarga santri. Sebab Ayahku Kiyai, itu katanya. Dan aku harus meneruskan pesantren warisan itu. Ah,
sial!
Aku Lin. Mempunyai hobi membaca dan
membuat puisi. Aku membaca apa saja, asal itu huruf Indonesia. Bukan Arab atau
Suryani yang menakutkan itu. Aku membuat puisi jika aku bersedih, rindu dengan
seseorang, dan tidak
punya uang. Namun puisiku menjijikkan.
Aku Lin. Di jurusan, aku mempunyai
geng. Tapi bukan geng. Karena kami tidak suka ngrumpi atau tawuran masal. Rojal
menyebutnya “bolo
dewe”.
Selain Rojal, kami terdiri dari Hilal, Vina, Firas dan Fanani. Tapi Vina adalah
cowok. Tubuhnya tinggi ceking. Berjenggot empat helai. Ia mahir komputer. Ia
lulusan SMK-PAL.
Aneh, Sastra Arab seperti tersesat. Satu lagi, namanya adalah Sugeng. Pendiam.
Kalem. Tapi suka meneriaki Tuhan saat berorasi di jalan: Allahu Akbar!
Aku Lin. Paling akrab dengan Hilal.
Sebab kami sama-sama tidak suka dengan OSPEK. Menurutnya, itu kegiatan aneh.
Menyulut emosi. Aku setuju.
Berikutnya aku akrab dengan Vina. Ia
bernama Vivin Biantoro. Namun lebih seksi jika kupanggil Vina. Ia menjadi jin
penjaga SAC, self acces center: sebuah fasilitas yang berisi bermacam
kebutuhan bagi mahasiswa jurusanku. Foto kopi juga. Bahkan, ada beberapa yang
memanfaatkannya untuk terlelap. Ia adalah aku. Kadang juga Hilal. Rojal, Fanani, Firas tidak berani.
Aku Lin. Firas dan Fanani menjadi
akrab denganku karena mereka cemburu melihat kedekatanku dengan Hilal. Mereka
menuduh kami mesra, cipika-cipiki, saling menggenggam tangan. Firas dan Fanani
beruang. Orang tua mereka kelebihan uang. Aku sering-sering dibelikan makan.
Bahkan juga diajak jalan-jalan dengan mobilnya. Namun aku tak pernah
menyebutnya sebuah sogokan. Itu Tuhan yang ngatur.
Aku Lin. Sugeng adalah karibku, lawan
debatku, penceramah handal. Sugeng mempunyai cita-cita yang hebat;
mengembalikan kejayaan Islam. Sugeng kerap kali mengkritik cara bicaraku,
rambutku, pakaianku, dan isi otakku yang –katanya- sekuler. Namun setelah
kuberi pelukan dan kecupan hangat, Sugeng tidak begitu lagi. Ia selalu bertanya
satu hal: Kapan ngopi?
Namaku: Lintang Surup
Aku miskin. Namun cita-citaku adalah
menjelajah Eropa. Ingin merasakan bagaimana bola salju berjatuhan seperti daun
lamtoro tertepa angin. Di Eropa aku akan menyaksikan peradaban dunia. Merasakan
denyut nadi pemikir-pemikir sekelas Hitler. Ia diktator. Tapi ia pemikir. Lenin
dan Stalin juga. Begitu juga dengan Freud yang tidur abadi di Viena. Aku ingin
di sana. Tapi bukan melantunkan doa. Ia Freud, ia mengatakan tentang umat
beragama yang mirip pasiennya. Mungkin dianggap setengah gila. Sebab itu aku
akan menumpahkan sedikit serapah di pusarannya.
Aku Lin. Setuju dengan Karen Horney. Juga
dengan Kartini. Bagiku mereka berdua memiliki derajat yang sama. Hanya saja
tempat lahirnya beda. Aku begitu tertarik dengan pemikiran Horney yang mencoba
mengimbangi dominasi laki-laki yang didukung penuh oleh Freud. Pun dengan
Kartini dengan catatan hariannya; Habis Gelap Terbitlah Terang, yang pada
intinya wanita harus menjadi sumber cahaya. Seperti mentari, atau lentera bagi
jalanmu yang terlampau pekat.
Aku tergila-gila dengan Farazdaq dan juga
Al Ghazali. Puisi-puisi Farazdaq membuatku hanyut, larut. Ia berbicara tentang
ia. Tentang Sang Rupawan itu. Sang Syahid Karbala. Ia Husain; penggenggam kebenaran. Cucu dari
manusia paling mulia. Ia putra Ali. Sahabat mulia dari manusia mulia. Ialah
Nabinya Nabi; Muhammad saw. Setelah itu adalah Al Ghazali; sang pemintal cahaya
Tuhan. Ia damar, dimar. Pembangkit jiwa yang mati. Ia memberi
jalan. Keterlibatannya dengan argumen filsuf Athena membuatku tak berkata-kata.
Ia penerjemah harakat masa. Penelaah gundah gulana, sepertiku,
sepertimu.
Namaku: Lintang Surup. Sekian!

Saya berguru dari sini
BalasHapustops n jossshhhh
BalasHapus