Semakin ke sini, orang-orang di media sosial
semakin bahagia merawat hoax. Nampaknya, menyebar berita bohong dan
nyaris menjadi fitnah adalah menu wajib untuk menemani sarapan pagi. Mereka
tidak pernah berpikir tentang hati orang lain. Yang penting mereka kenyang;
perut dan hati. Perut oleh sepiring nasi, dan hati oleh sepotong cerita orang
yang bertengkar hari ini. Huft. Ini sangat menyedihkan. Hati saya
tersakiti. Bukan oleh mereka. Tapi oleh situasi; yang memaksa saya tidak mampu
berbuat lebih. Saya hanya bisa diam. Sambil berharap, waktu cepat berlalu. Lalu
berganti dengan kejadian baru.
Saya memutuskan untuk berhenti mendayung di
keruhnya medsos. Saya memilih, sejenak, menjauh dari ingar-bingar hasil cipta
kejeniusan manusia.
Di sebuah desa kecil. Jauh dari keramaian.
Saya mendapati seseorang menjelang renta. Langkah kakinya mulai goyah. Kukuh
tubuhnya mulai melemah. Pandangannya merapuh. Tapi tidak dengan tajam sorot
matanya; dan juga hatinya. Pikirannya tidak setua usianya. Saya memanggilnya
dengan Pak Sojo; atau lengkapnya Prasojo. Ia sendirian. Sudah sepuluh tahun
yang lalu, istrinya pergi. Ia memiliki satu anak, tapi sang anak memilih untuk
tidak bersamanya. Kata Pak Sojo: “Teman saya banyak. Di sini!” Jari
rentanya menunjuk tepat di dadanya. Saya tidak mengerti!
Saya menyalaminya. Ia duduk di kursi tua
depan rumahnya. Kretek besar menggantung manja di jemarinya. Kami berbincang
banyak hal. Jiwa saya disehatkan olehnya. Diobati oleh keluasan hatinya.
Saya bertanya apa pun kepadanya. Termasuk
tentang kesendiriannya. Sebab, saya sangat prihatin. Tapi seketika hancur.
Kalimat-kalimatnya mendiamkan saya.
Ia hanya berkata: “Saya sudah selesai!”
Sore menjelang petang saya pulang. Saya
membawa banyak pencerahan darinya. Kalimat terakhirnya seperti tidak senang
jika saya diam. Saya layak merenungkannya.
Benar, ia memang benar. Ia selesai. Sudah
selesai hatinya; selesai semuanya. Saat ia harus ditinggal istrinya, ia memilih
berdamai dengan hatinya. Ia tidak ingin memperumit diri dengan takdirnya. Begitu
pula, saat sang putra pamit darinya, ia hanya mengangguk setuju. Tidak ada air
mata yang menetes. Ia mengatakan: “Apa artinya air mata bagi orang-orang
yang selesai seperti saya?”
Saya mulai berani mendefinisikan Pak Sojo.
Jika berangkat dari peta kehidupannya, orang yang selesai adalah orang-orang
yang bisa berdamai dengan hatinya. Berdamai dengan semesta. Dengan lalat-lalat
yang menyebar benih penyakit. Dengan panas yang menyengat. Dengan dingin yang
kejam. Dengan kerikil yang melukai kaki, dengan kesepian yang menguliti, dengan
angin yang menggerogoti usia.
Saya mencoba berjalan ke sana. Mencoba
berdamai dengan semuanya. Mencoba menjadi manusia yang selesai.
Saya mulai berani bermain media sosial
lagi. Saya mulai menemui banyak hal lagi di sana. Tapi hati saya lebih tenang.
Kepala saya jauh lebih dingin. Saya terus melihat Pak Sojo ada di samping saya.
Sehingga, taburan permusuhan, caci maki, fitnah, adu domba tidak mampu menembus
emosional saya.
So, kalian. Para pembaca. Atau yang tidak
mengenal saya. Bukalah pintu hati kalian seluas-luasnya. Berdamailah dengan
situasi yang ada. Jadilah orang-orang yang sudah selesai. Mereka yang mengajak
berantem kita adalah bagian dari kita. Mereka sejiwa dengan kita. Mereka butuh
bahagia seperti kita. Mereka butuh hati yang tenang seperti kita. Kita mulai
duluan. Biarkan mereka berproses. Biarkan mereka menemukan jati dirinya. Kita
di sini saja. Menikmati kesudahan kita.
Seseorang berkata: “Lebih baik merawat
rindu kepada mantan, daripada harus merawat benci, amarah, hasud, fitnah yang
berujung pada kehancuran.”
Selamat menikmati bermalam Jumat, Kawan!
Dan jangan lupa bahagia.
Bib, kulo nderek berobat teng klinik niki...
BalasHapusPanjenengan kok aneh2 mawon, hehehe.
Hapusditenggo komentar dan masukannya nggeh. suwun. :)
Esai yang luar biasa. Semestinya dikirim ke mojok
BalasHapusSembah nuwun, Prof yai :)
Hapus