Kamis, 23 Juli 2020

Kita Adalah Orang-orang Yang Sudah Selesai




Semakin ke sini, orang-orang di media sosial semakin bahagia merawat hoax. Nampaknya, menyebar berita bohong dan nyaris menjadi fitnah adalah menu wajib untuk menemani sarapan pagi. Mereka tidak pernah berpikir tentang hati orang lain. Yang penting mereka kenyang; perut dan hati. Perut oleh sepiring nasi, dan hati oleh sepotong cerita orang yang bertengkar hari ini. Huft. Ini sangat menyedihkan. Hati saya tersakiti. Bukan oleh mereka. Tapi oleh situasi; yang memaksa saya tidak mampu berbuat lebih. Saya hanya bisa diam. Sambil berharap, waktu cepat berlalu. Lalu berganti dengan kejadian baru.
Saya memutuskan untuk berhenti mendayung di keruhnya medsos. Saya memilih, sejenak, menjauh dari ingar-bingar hasil cipta kejeniusan manusia.
Di sebuah desa kecil. Jauh dari keramaian. Saya mendapati seseorang menjelang renta. Langkah kakinya mulai goyah. Kukuh tubuhnya mulai melemah. Pandangannya merapuh. Tapi tidak dengan tajam sorot matanya; dan juga hatinya. Pikirannya tidak setua usianya. Saya memanggilnya dengan Pak Sojo; atau lengkapnya Prasojo. Ia sendirian. Sudah sepuluh tahun yang lalu, istrinya pergi. Ia memiliki satu anak, tapi sang anak memilih untuk tidak bersamanya. Kata Pak Sojo: “Teman saya banyak. Di sini!” Jari rentanya menunjuk tepat di dadanya. Saya tidak mengerti!
Saya menyalaminya. Ia duduk di kursi tua depan rumahnya. Kretek besar menggantung manja di jemarinya. Kami berbincang banyak hal. Jiwa saya disehatkan olehnya. Diobati oleh keluasan hatinya.
Saya bertanya apa pun kepadanya. Termasuk tentang kesendiriannya. Sebab, saya sangat prihatin. Tapi seketika hancur. Kalimat-kalimatnya mendiamkan saya.
Ia hanya berkata: “Saya sudah selesai!”
Sore menjelang petang saya pulang. Saya membawa banyak pencerahan darinya. Kalimat terakhirnya seperti tidak senang jika saya diam. Saya layak merenungkannya.
Benar, ia memang benar. Ia selesai. Sudah selesai hatinya; selesai semuanya. Saat ia harus ditinggal istrinya, ia memilih berdamai dengan hatinya. Ia tidak ingin memperumit diri dengan takdirnya. Begitu pula, saat sang putra pamit darinya, ia hanya mengangguk setuju. Tidak ada air mata yang menetes. Ia mengatakan: “Apa artinya air mata bagi orang-orang yang selesai seperti saya?”
Saya mulai berani mendefinisikan Pak Sojo. Jika berangkat dari peta kehidupannya, orang yang selesai adalah orang-orang yang bisa berdamai dengan hatinya. Berdamai dengan semesta. Dengan lalat-lalat yang menyebar benih penyakit. Dengan panas yang menyengat. Dengan dingin yang kejam. Dengan kerikil yang melukai kaki, dengan kesepian yang menguliti, dengan angin yang menggerogoti usia.
Saya mencoba berjalan ke sana. Mencoba berdamai dengan semuanya. Mencoba menjadi manusia yang selesai.
Saya mulai berani bermain media sosial lagi. Saya mulai menemui banyak hal lagi di sana. Tapi hati saya lebih tenang. Kepala saya jauh lebih dingin. Saya terus melihat Pak Sojo ada di samping saya. Sehingga, taburan permusuhan, caci maki, fitnah, adu domba tidak mampu menembus emosional saya.
So, kalian. Para pembaca. Atau yang tidak mengenal saya. Bukalah pintu hati kalian seluas-luasnya. Berdamailah dengan situasi yang ada. Jadilah orang-orang yang sudah selesai. Mereka yang mengajak berantem kita adalah bagian dari kita. Mereka sejiwa dengan kita. Mereka butuh bahagia seperti kita. Mereka butuh hati yang tenang seperti kita. Kita mulai duluan. Biarkan mereka berproses. Biarkan mereka menemukan jati dirinya. Kita di sini saja. Menikmati kesudahan kita.
Seseorang berkata: “Lebih baik merawat rindu kepada mantan, daripada harus merawat benci, amarah, hasud, fitnah yang berujung pada kehancuran.”
Selamat menikmati bermalam Jumat, Kawan! Dan jangan lupa bahagia.

 

4 komentar:

  1. Bib, kulo nderek berobat teng klinik niki...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Panjenengan kok aneh2 mawon, hehehe.
      ditenggo komentar dan masukannya nggeh. suwun. :)

      Hapus
  2. Esai yang luar biasa. Semestinya dikirim ke mojok

    BalasHapus

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...