Semua
dimulai dari pagi itu. Hampir-hampir sebulan. Sebelum aku tergila-gila
denganmu.
***
Pagi itu, 2007, Malang ingin tampil seksi. Sentuhan
dingin pada kulit ari meningkat derajatnya. Sekitar tiga kali lipat. Momok
menakutkan bagiku, bagi penghuni kos kami. Dan tentu saja, nama-nama kami akan
bertanda silang di buku hadir mahasiswa. Dosen hanya menggelengkan kepala. Dan kami selalu tidak peduli.
Kos kami tidak jauh dari kampus. Hanya berjarak satu kilometer. Tapi itu bisa menjadi seratus kilometer jika Malang benar-benar seksi. Kaki kami seolah mendapat
beban tidak hanya lima kilogram tapi lebih dari itu. Kaki-kaki kami berat sekali diajak untuk melangkah. Dan memperpanjang
waktu tidur adalah pilihan yang paling mulia bagi kami. Kadang aku terbahak
sendiri mendengar kalimat itu. Menurutku, kami sudah miring. Jo, selalu setuju denganku.
Aku baru saja bangun. Serbuan dingin terus menyerang
tubuhku dari semua sudut. Aku masih mengenakan jaket. Karena sejak semalam,
selimut gagal membuatku hangat. Aku butuh tambahan jaket sebagai pelapisnya. Jika sudah hangat, tidur pun akan nikmat. Begitu aturan
bakunya.
Aku keluar kamar dan duduk di kursi beton. Katanya sudah
puluhan tahun kursi itu ada di depan kamarku. Lalu aku menatap langit. Di atas
sana hanya biru. Tapi kadang juga putih cerah. Awan seperti sedang bermain
petak umpet bahagia. Tak ketinggalan, burung-burung yang tak punya hobi
nangkring juga pasang aksi tidak jauh dari awan yang sedang bahagia itu. Aku
tersenyum. Indah sekali.
Hari itu adalah hari Selasa. Jadwal
rutin konsultasi skripsi. Dosen pembimbingku tidak galak. Tapi beliau pintar
sekali bermain sihir. Karena tiba-tiba saja suka menghilang. Dan tiba-tiba lagi
ada ketika jadwal konsultasi habis. Kejadian itu membuatku kadang berprasangka
di luar logika. Ah, sudahlah. Beliau memang bisa bermain sihir.
Perlu kalian semua tahu, skripsiku sudah memakan waktu
satu setengah tahun. Tapi belum ada simbol ‘titik’ yang bisa membuat bibir
orang mengatakan bahwa aku sudah siap lulus. Mengerikan sekali.
Sesuai kesepakatan, jadwal bertemu dosen pembimbing
adalah jam delapan tepat. Tidak kurang tidak lebih. Begitu ancam beliau. Aku
mengangguk patuh. Meski hatiku menjerit jika beliau itu bersandiwara. Aku
tertawa. Karena aku sadar. Aku suka berbuat jahat dengan mengarang
tuduhan-tuduhan itu. Pagi itu masih jam enam lewat lima belas menit. Artinya,
waktu luangku masih sekitar satu jam lebih. Ah asiknya.
Di satu setengah jam itu aku benar-benar tidak sibuk
dengan persiapan menghadap beliau. Karena semua atribut khas sebagai mahasiswa
penulis skripsi sudah rapi di dalam tas. Termasuk pulpen cadangan. Perlu
diketahui, sejak peristiwa itu, saat kali pertama konsultasi, aku tidak pernah
membawa hanya satu pulpen. Karena sejak saat itu pula aku tahu, pulpen yang aku
bawa kadang suka tidur lelap di saku beliau. Dan aku tidak tahu cara
membangunkannya.
Aku menatap langit lagi. Di sana masih ada awan yang
sedang berbahagia. Juga burung-burung yang masih sibuk beraksi. Untuk merespon
mereka, tidak ada cara paling sakti selain membuat seduhan kopi. Aku segera
berdiri.
Kos kami sederhana. Terdiri dari lima belas kamar, tiga
kamar mandi dan satu dapur. Untuk perairan, pompa air tenaga listrik
ditiadakan. Karena itu anjuran pemerintah untuk menghemat persediaan listrik
negara yang semakin menipis. Sebagai gantinya, pompa itu bertenaga mahasiswa
yang rata-rata perutnya buncit akibat perbuatannya yang suka membohongi perut.
Perut yang lapar selalu terjawab dengan air putih yang jumlahnya sangat
menakutkan. Tapi kata Jo, itu bukan salah kami. Itu salah perut. Karena selalu
lapar di saat yang sangat tidak tepat. Aku segera menutup mulut. Karena tidak
ingin melukai perasaan karibku itu dengan tertawa yang berlebihan. Dia segera
mengelus bahuku. Katanya, dia selalu jatuh cinta dengan ulahku.
“Jo ...”
“Apa?”
“Tai!”
Jo terbahak-bahak sambil berucap: “Cintaku bertepuk
sebelah tangan!”
Dapur kami kecil. Ukurannya dua kali dua. Jika ada dua
penghuni kos memasak mie instan bersamaan maka tubuh kami akan berpagutan.
Karena di dapur bukan hanya ada peralatan dapur, tapi juga ada sebuah lemari
besar yang sudah lapuk. Isinya adalah barang-barang penghuni kos yang sudah
tidak berada di kos itu lagi.
Dapur kami memiliki dua kompor yang berbahan minyak
tanah. Karena pada saat itu, konversi gas LPG belum menyentuh nurani kami. Kami
masih kolot. Kami masih berpendapat jika minyak tanah jauh lebih murah dari gas
LPG. Tapi jika diusut secara tuntas, fakta yang sebenarnya adalah bahwa dari
sekian penghuni kos tidak ada satu pun yang mempunyai niat untuk membeli kompor
gas LPG. Karena kantong mereka mempunyai banyak lubang. Itu saja alasannya. Dan
kompor minyak tanah itu? Keduanya adalah warisan. Entah dari siapa. Yang jelas,
saat aku masuk kos itu kompor sudah ada. Dan wujudnya sudah tidak sedap
dipandang mata lagi.
Aku menyalakan kompor cepat-cepat untuk merebus air.
Kompor menyala dan teko kecil sudah duduk manja di atasnya. Aku kembali ke
kamar untuk membuat racikan kopi. Kopi yang kupunya adalah bekal dari ibuku di
kampung. Rasanya menyala sekali. Itu adalah kopi khas produksi ibu. Sudah lama
sekali ibuku membuat serbuk kopi yang hasilnya bisa kupakai untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi.
Racikan sudah siap. Aku bergegas menuju dapur.
Teko sudah mengembuskan uap panas. Tutup mungilnya juga
sudah bergoyang. Aku yakin, air yang kurebus sudah sempurna mendidih.
Kemudian aku menuangkannya ke cangkir yang sudah berisi
racikan kopi. Air dan racikan kopi segera beraksi. Suaranya yang ‘nyes’
menggema di semua sudut dapur. Dan tidak lama setelahnya, aroma khas kopi
tubruk memenuhi dua lubang hidungku. Rasanya, ingin segera kutenggak semuanya.
Aku kembali duduk di kursi beton depan kamar. Bedanya,
sekarang aku tidak sendiri. Ada secangkir kopi yang duduk tenang di sampingku.
Asapnya yang ganjen, membuatku semakin bersemangat menyambut datangnya pagi.
Kembali, langit jadi sasaran dua bola mataku.
“Kapan lulus, Nak?” tiba-tiba suara itu muncul lagi. Aku
tidak tahu itu yang ke berapa. Aku tidak sanggup lagi menghitungnya. Dan
jawaban dari pertanyaan itu selalu sama: “Sebentar lagi, Bu.”
Aku menyadari dengan sepenuh hati. Itu pilihan dan itu
adalah risikonya. Menjadi mahasiswa karet memang keren, meski telinga akan
mudah sekali memerah. Karena pertanyaan tidak pernah mempunyai variasi.
Teman berkata: “Kita masuk di sini sangat susah, kenapa
kita harus mudah keluar lagi?” Aku mengapresiasinya dengan dua gigiku yang
tampak menguning. Dia sering tidak suka dengan ulahku.
Satu tegukan masuk ke dalam kerongkonganku. Lamunan
tentang pertanyaan monoton Ibuku menguap. Aku kembali di alam nyata. Langit
menjadi media tatapan mataku lagi.
Waktu masih menyisakan setengah jam lagi. Tapi kopiku
masih setengah cangkir. Aku ingat pepatah: “Ojo sampek skripsimu ngganggu
ngopimu”. Aku terbahak sendiri. Norma itu di mana lagi? Tapi tidak. Itu
bukan perihal norma. Itu memang aturan baku bagi pecandu kopi kelas kakap
sepertiku. Meski seleraku tidak pernah serius.
Tidak bisa dipungkiri. Aku memang patuh dengan aturan
baku itu. Bagiku, termasuk dosa besar jika menyepelekan aturan yang tidak
pernah tahu siapa perumusnya itu. Karena itu, aku masih belum beranjak dari
dudukku. Kulirik cangkir kopiku sebentar. Lalu bergumam: “Tuhan Maha Asik!”
Pintu kamar sebelah kamarku membuka. Jo keluar dengan
mulut menganga. Aku tahu, dia sedang membuang gas-gas beracun sisa semalam.
Sekilas tentang Jo. Tubuh Jo juga menderita ‘sakit’
akibat pembohangan perut. Tingkat ekonomi kami berimbang. Jatah makan kami
hanya dua kali sehari. Dan untuk menggenapi biar tiga kali, kami membohongi
perut kami. Kami minum air yang banyak sebagai
ganti.
Jo adalah adik tingkatku. Dia berasal dari
Caruban-Madiun. Di UM, dia mengambil jurusan PGSD. Katanya, guru SD banyak yang
tidak berkualitas. Karena itu, dia ingin menjadi pahlawan meski sedikit
kesiangan.
Jo tidak sepertiku. Dia tidak suka kopi. Dia hanya minum
teh hangat. Menurutnya, teh akan memperpanjang hidupnya. Sementara umurku akan
diperpendek karena suka minum kopi. Aku tidak menanggapinya. Aku biarkan dia
terbang dengan imajinasi tololnya itu. Meski begitu, aku tahu Jo adalah teman
yang sangat baik. Aku juga tahu Jo tidak akan pernah meninggalkanku saat aku
jatuh.
Orang tua Jo adalah petani melon. Dulu, katanya, orang
tuanya sangat kaya karena melon menjadi primadona. Melon berharga seperti emas,
katanya meyakinkanku. Tapi setelah beberapa periode terlewat, melon meluncur ke
jurang. Setengah hektar sawah orang tua Jo terpaksa terjual. Sejak saat itu, Jo
resmi menjadi mahasiswa yang bergelar ‘kurang mampu’ dan layak mendapat
beasiswa dari kampus.
Suatu ketika Jo bercerita padaku tentang usaha orang
tuanya menanam melon. Menurutnya, harga melon yang jatuh di pasaran itu memang setting-an.
Ada aktor di balik itu semua. Dua alisku bergerak. Mataku menyipit. Aku pasang
baik-baik telingaku.
Jo melanjutkan. Katanya, cara aktor itu menjatuhkan harga
melon sangat cerdik dan rapi. Sehingga pihak penegak keadilan tidak bisa
mengendusnya. Menurut Jo, langkah awal mereka adalah dengan merekayasa
pestisida dan pupuk. Pestisida yang diedarkan ke petani melon adalah pestisida
oplosan. Cara pengoplosannya berkala. Tidak langsung sekaligus. Perlahan,
mereka mencampur pestisida asli dengan bahan yang malah merusak melon. Petani
jelas tidak bisa mendeteksi ini. Jikalau pun bisa, mereka juga tidak tahu harus berteriak ke mana. Semua seolah tutup telinga.
Di samping kualitas pestisida yang di bawah standar
karena dioplos, stoknya juga semakin jarang. Dan jika petani sudah merasa
kesulitan mencarinya, pestisida segera diedarkan kembali akan tetapi dengan
harga yang melangit. Hasil penjualan melon tidak sanggup menutupnya. Efeknya,
banyak petani yang menjual sawahnya untuk membayar utang. Rapi dan keji sekali
rekayasa itu, kata Jo berapi-api.
Sedangkan untuk pupuk, tidak begitu cara main curangnya.
Untuk pupuk cukup dengan membuatnya langka. Itu saja. Karena dengan begitu,
melon pasti menderita busung lapar.
Menurut Jo, semua itu ulah importir buah yang bekerja
sama dengan dinas pertanian. Para pelaku impor ini akan berdalih bahwa produksi
melon dalam negeri sangat mengecewakan. Mendengar laporan itu, pegawai dinas
pertanian akan mengulum senyum. Mereka akan menerima begitu saja laporan fiktif
itu. Setelah itu, mereka akan menerbitkan surat izin impor melon besar-besaran
bagi para pelaku impor mbeling itu.
Pegawai dinas pertanian tidak peduli dengan nasib petani
melon. Jo mengatakan, mereka itu hanya peduli dengan perut istri dan
anak-anaknya, ditambah lagi –kadang- perut istri simpanannya. Mereka akan
mendapat fee dari hasil penerbitan surat izin tersebut. Jo geram, dia
selalu berdoa semoga orang-orang seperti itu mati karena menelan racun tikus.
Aku tertawa keras. Doa Jo itu sangat lucu sekali.
Jo menatapku curiga saat aku ketawa sendiri. Tatapan
matanya penuh tanya. Biasanya, aku dianggapnya sinting. Dia mendekat padaku dan
mulut penuh menteganya membuat suara,
“Lapo, Sam? Kon, koyoane edan?” tanyanya dengan
bahasa khas Malangan. Jo tergolong pendatang yang ingin membaur. Dia ingin
menunjukkan kepada semua orang jika di mana pun bumi dipijak maka di situ
langit dijunjung. Karena itu, dia belajar ekstra keras tentang bahasa Malangan
yang ciri khasnya adalah dengan membalik kata-katanya. Mas akan dibalik menjadi
‘Sam’. Begitu seterusnya.
“Tidak, Jo. Aku hanya prihatin saja. Perutmu sepertinya
semakin buncit,” jawabku dengan gurau. Jo mendelik. Bibirnya beraksi
lagi,
“Lambe tah wajan iku?”
“Wes. Tidak perlu diperpanjang. Aku mau mandi.
Pagi ini jadwalku konsultasi. Bagaimana skripsimu?” tanyaku sambil menandaskan
kopi yang masih tersisa di cangkir.
“Mandek. Dosen pembimbingnya ke luar kota. Edan
tenan!”
“Yaudah. Cari kode saja ben ga edan!” Aku terus
menggodanya. Dia manyun dan enggan menatapku lagi. Aku masih menyimpan tawa di
perut.
Aku kembali masuk kamar untuk mengambil handuk kumalku.
Sumpah, pagi itu aku mandi dan keramas. Aku tidak ingin dituduh Pak Hanafi,
dosen pembimbing skripsiku, sebagai sapi yang sudah tujuh hari tidak dimandikan
di sungai. Sehingga baunya tidak hanya sengak, tapi juga bikin mata merem-melek.
Tapi jika kupikir dalam-dalam, apa yang dikatakan Pak
Hanafi ada benarnya. Meski aku tidak memiliki masalah bau badan, tapi jika tiga
hari badanku tidak tersentuh air baunya memang seperti sapi yang lupa mandi.
Aku melangkah menuju penghakiman itu. Pintu kamar mandi
terbuka lebar. Dia sudah tidak sabar ingin menelanku. Langkahku seperti
terhenti. Ada keraguan menjalari tubuhku. Aku memaksa melangkah. Karena waktu
juga memburuku. Semoga air itu menjadi hangat. Ah, tapi aku bukan Ibrahim; yang
bisa membuat api menjadi dingin dan sebaliknya. Jadi, kupastikan bahwa pagi itu
aku masuk kulkas.
Aku mulai mengguyur tubuhku. Benar saja, mandi pagi hari
di Malang memang tidak ada bedanya dengan menyerahkan diri pada lambung kulkas.
Aku menggigil. Tapi tuduhan Pak Hanafi menjelma penghangat. Aku melanjutkan
mandiku.
Selain mngguyur tubuh, aku juga segera mengguyur rambut.
Setelah itu, sampo membuatnya berbusa. Aku tidak ingin lama-lama menggigil.
Kusudahi mandiku setelah busa dirambutku hanyut bersama air.
Aku keluar kamar dengan lilitan handuk di badan. Aku
berjalan santai. Meski di atas kosku adalah kos-kosan cewek, aku yakin mereka
sangat tidak tertarik dengan tubuh kurusku.
Aku masuk kamar dan membuat hangat tubuhku.
***
Aku keluar kamar dengan baju hem lengan pendek dan celana
jeans yang sudah tiga minggu tidak aku cuci. Karena kata Jo, celana jeans
semakin tidak dicuci maka akan semakin elegan. Untuk manusia pemalas seperti
diriku, perkataan Jo serupa sabda. Aku benar-benar mematuhinya.
Tas yang berisi senjata untuk menghadapi Pak Hanafi sudah
tidur nyenyak di punggungku. Mulai dari draft skripsi yang siap dicoret sampai
pulpen cadangan sudah ada semuanya. Saatnya memakai kaus kaki dan sepatu. Jika
dua benda itu sudah ikut menempel di tubuhku, maka yang terakhir adalah membuat
hangat si Belalang Tempur.
Jo kerap kali memegangi perutnya. Katanya, penamaan motorku
itu di luar akal sehat. Aku terlalu berlebihan. Dia mengusulkan sebuah nama
untuk motorku: Bebek Reot!
Aku marah pada Jo. Dia tidak kusupa satu hari penuh. Dan
malamnya, dia mengirimkan upeti untuk permohonan maaf. Satu bungkus kopi dan
gula. Indah sekali sogokannya.
Tapi jika dipikir-pikir, aku tidak berlebihan. Belalang
Tempur memang sangat pas untuk motorku. Meski kelasnya bukan kelas super,
motorku sudah berjasa banyak dalam kehidupanku.
Sekelumit tentang Belalang Tempur. Dia dilahirkan pada
tahun 2003. Tepatnya pada tanggal 12 September. Artinya, tanggal lahir kami
sama. Itu keramat sekali kata orang dulu. Maka itu, sampai kapan pun tidak akan
pernah kubiarkan motorku terjual.
Belalang Tempur terbeli saat aku masih kelas dua SMA.
Harganya ketika itu adalah sembilan juta delapan ratus ribu rupiah. Tapi itu
harga kontan. Sementara aku membelinya dengan harga cicilan. Jadi saat lunas,
motorku berganti harga menjadi sekitar dua belas jutaan.
Belalang Tempur memiliki nama asli ‘Legenda II’. Dia
prodak Honda yang di negeri kami menjadi pabrikan motor primadona. Kata orang
dulu, jika beli motor bukan prodak Honda maka si pembeli adalah orang yang buta
pengetahuan. Mitos itu membuat hatiku ngilu.
Kali pertama Belalang Tempur memasuki area sekolahan, aku
mendapat julukan alien yang mendarat darurat. Hal itu bukan karena Belalang
Tempur yang terlihat keren, tapi helm yang kupakai menjadi penyebabnya. Helm
itu diameternya hampir dua kali lipat kepalaku, jadi saat helm itu kupakai
tubuku tampak seperti penderita busung lapar. Lengkap sudah. Aku menggenapinya,
Alien yang sedang busung lapar. Teman-temanku kompak tertawa. Setelah itu,
mereka mencoba Belalang Tempur satu per satu. Kata mereka, motor baru harus
dirayakan. Aku hanya mengangguk setuju.
Belalang Tempur terus menemaniku di SMA. Dia juga berjasa
besar atas kedekatanku dengan perempuan cantik yang kuincar, meski pada
akhirnya aku tidak mendapatkannya. Barangkali, Belalang Tempur tidak berminat
aku bersanding dengannya. Dan aku curiga, itu hanya akal-akalannya saja untuk
bersaing denganku. Artinya, jika aku bisa dekat dengan perempuan cantik itu
otomatis si Belalang Tempur juga merasakan sentuhan manjanya.
Perempuan itu bernama Mary, tapi aku dan teman sekelas
memanggilnya Merry. Evolusi yang sukses. Dari desa menuju pos-modern. Semoga
dia tidak marah kusimpulkan seperti itu.
Merry berwajah tidak oval tapi agak lonjong. Hidungnya
mancung. Jika tersenyum, lesung pipitnya berebut muncul di mataku. Indah sekali
bentuknya. Tingginya ideal dengan tubuhnya. Dan jika berjalan, rumput-rumput
seperti menunduk menghaturkan kagum. Begitu juga denganku.
Merry adalah anak kedua dari dua bersaudara. Bapaknya
seorang polisi dan ibunya adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Rumah tinggal Merry
sangat teduh. Karena dikelilingi oleh persawahan yang menghijau. Aku suka
sekali lewat depan rumahnya, meski aku harus menderita gemetaran saat melintas.
Itu bonus kataku. Tuhan memang Maha Mengejutkan.
Di kelas, Merry kerap menjadi bahan eksploitasi mata-mata
gemas sepertiku. Merry selalu menjadi trending topic tiap kali kami
berkumpul. Kata Rudi, Merry itu ngangenin. Jika kataku, Merry hanya
milikku. Mimpi konyolku ketika itu.
Merry memiliki jari-jari yang halus nan lentik. Hasil
goresan penanya membuat aku dan teman cowok yang lain berebut untuk meminjam
catatannya. Merry juga menjadi langganan untuk menyalin catatan di papan tulis.
Aku amati, ada beberapa guru kami yang memang malas menulis.
Aku dan teman cowokku satu kelas seperti terkena sihir
saat Merry mulai menyalin catatan guru di papan tulis. Kelas menjadi senyap.
Aku dan yang lainnya menjadi bersemangat sekali mengikuti tarian jarinya di
papan yang berwarna hitam itu. Mungkin begini, gerak tubuh Merry serupa jaring
nelayan dan kami adalah ikan-ikan yang malang.
Ada satu kejadian unik saat itu. Teman sebangkuku, tanpa
kuprediksi sebelumnya, juga tergila-gila dengan Merry sama sepertiku. Tapi
bedanya, dia lebih pemberani ketimbang diriku. Dia tidak segan-segan
mengumumkan itu kepada teman cowok yang lain, bahkan juga ke beberapa teman cewek.
Cahaya, teman sebangkuku, suka sekali membagi perasaan
sukanya kepada Merry denganku. Tidak jarang pula dia meminta nasihat kepadaku
tentang bagaimana menaklukkan Merry. Aku menelan ludah. Perasaan cintaku kepada
Merry makin tersembunyi di palung hatiku. Aku benar-benar gagap saat itu.
Setelah mengetahui Cahaya tergila-gila dengan Merry, aku
matian-matian menghapus namanya di hatiku. Aku tahu, itu cinta monyet. Tapi aku
benar-benar gila jika terus memaksa untuk tidak cinta padanya. Karena itu,
kuputuskan untuk menjadi pemuja rahasianya. Itu jalan satu-satunya yang
kupunya.
Setelah resmi menjadi pemuja rahasianya, aku terbebas
dari satu kewajiban yang sangat berat menurutku. Yakni mengungkapkan perasaanku
pada Merry. Selain itu, aku juga tidak akan bertarung dengan tradisi kolot
keluargaku yang mengatakan bahwa pacaran itu sangat dilarang.
Sebagai pemuja rahasia Merry, aku tetap berlaku
profesional kepada Cahaya. Ketika dia menceritakan tentang Merry kepadaku, aku
juga harus menyimaknya dengan baik. Aku tidak boleh sedikit pun menunjukkan
rasa tidak sukaku terhadap cerita Cahaya tentang Merry. Bukan tugas yang
ringan.
Menjadi pemuja rahasia seorang perempuan itu rumit. Kala
itu, aku harus mencatat hampir semua agenda Merry mulai masuk sampai jam
pulang. Karena aku tidak boleh kehilangan satu momen pun tentangnya.
Dari hasil pengamatanku diam-diam, aku mendapatkan
beberapa catatan yang sangat strategis tentang Merry. Catatan ini sangat
membantuku untuk menikmati kebersamaan dengannya tanpa dia sadari.
Pertama, Merry hampir selalu ke kamar kecil sepuluh atau
lima belas menit sebelum bel istirahat menjerit di mana-mana. Pada kesempatan
itu, sekali dua kali aku juga izin ke kamar mandi. Melihat tampilanku yang
tidak pernah menunjukkan gelagat jatuh cinta pada Merry, maka teman-teman
sekelas memandangku biasa saja. Tidak ada satu pun yang berceletuk jahil
seperti yang terjadi kepada Cahaya.
Kamar kecil di sekolah kami untuk cewek dan cowok
berdekatan. Untuk privasi, di tengahnya ada tembok sebagai pemisah. Akan tetapi
akses menuju ke sana hanya satu. Sehingga, aku dan Merry bisa dipastikan
bertemu.
Momen itu sangat sakral menurutku. Karena di saat itu,
aku dan Merry hanya berdua. Kebersamaan kami memang singkat, tapi kami hanya
berdua. Tatapan mata kami beradu tajam. Dan bibir kami saling melempar senyum.
Aku bahagia. Semoga saja dia sama.
Kedua, Merry hampir pasti ke Koperasi Sekolah dua menit
setelah bel istirahat. Dia ke sana selalu mengajak Rana, teman sebangkunya.
Untuk rutinitas ini, aku tidak membuntutinya. Aku hanya akan duduk di taman
yang berjarak lima belas meter dari koperasi. Dari taman itu aku melafalkan
kecantikannya. Hatiku berwarna sekali ketika itu. Oh, cinta itu ajaib sekali.
Ketiga, Merry akan di halte saat bel pulang. Kecuali ada
ekskul yang memaksanya tinggal di sekolah. Di halte itu, dia akan mencegat
angkot yang akan mengantarkannya sampai parkiran motor yang tidak jauh dari
rumahnya.
Biasanya, sekali dua kali, aku juga akan berada di situ.
Aku akan menumpang angkot yang sama. Dan di dalam angkot, aku akan
sering-sering meliriknya. Tapi jika duduk kami berdampingan, dia akan
menyapaku. Dan efeknya, di hatiku ada gempa bumi. Dahsyat sekali.
Aku ingat ketika itu. Pernah satu kali, angkot hanya
menyisakan duduk untuk kami berdua. Setelah angkot melaju, dia menyapaku.
“Hai, kamu tidak ikut ekskul?” sapanya halus. Napasnya
membuatku terlena. Harum sekali.
“Hm, tidak,” jawabku terbata.
Gempa itu membuatku gagap berbicara. Setelah itu, kami menjadi patung sampai
aku turun dari angkot. Merry seperti melambaikan tangan melepasku, tapi gempa
itu membuatku tidak kuat lagi membalas lambaian tangannya.
Aku dan Merry satu kelas sampai kelas dua. Karena kelas
tiganya, dia memilih jurusan IPA sementara aku lebih memilih IPS yang konon
katanya merupakan kasta kedua dalam penjurusan. Namun aku tidak peduli. Di
kelas itu aku berkenalan dengan J.J Rosoe, Montesque, Immanuel Kant, sampai
Karl Marx. Menyenangkan sekali waktu itu. Tapi sayangnya, guru pengajarnya
bukan tipe pendongeng yang baik.
Statusku sebagai pemuja rahasia berhasil kupertahankan
sampai kami lulus sekolah dan kemudian merantau ke Malang. Merry memilih UB dan
aku UM. Kami masih bertetangga.
Waktu berputar sangat cepat, tiga tahun berlalu Merry
berhasil menyelesaikan studi D3-nya. Sementara aku masih sibuk menyelesaikan
tugasku sebagai praktikan mengajar di salah satu Madrasah.
Beberapa waktu setelah kelulusannya, Merry mengirimkan
undangan pernikahannya. Bumi menurutku tidak utuh lagi. Bahkan matahari serasa
berhenti bersinar saat undangan itu membelalakkan dua bola mataku. Predikatku
sebagai pemuja rahasianya luluh lantak tak tersisa. Uh, masa lalu yang
menggemaskan.
Aku menyalakan Belalang Tempur. Sekali pencet, dia
menyala penuh semangat. Seperti biasa, dia membutuhkan waktu satu sampai dua
menit untuk mengkondisikan dirinya benar-benar siap untuk menapaki karpet hitam
yang tergelar sepanjang jalan menuju kampusku.
Jo mendekatiku lagi. Dia mengambil duduk persis di
sebelah kiriku. Dia kelihatan layu.
“Ada apa, Sam?” tanyaku padanya.
“Biasa, kiriman telat,” jawabnya malas.
“Ha ha ha. Inna Allaha Ma’as Shobirin.” Aku tertawa sambil mengelus bahunya yang penuh tonjolan
tulang. Dia tidak bereaksi. Tampaknya dia kesal denganku. Namun aku terlanjur
tidak peduli.
“Tak doakan draft skripsimu jatuh ke selokan. Amin.” Dia membalas ulahku. Tapi aku malam tertawa lebar. Melihat itu, dia juga
terpancing untuk tertawa. Jadinya, suara tertawa kami membentuk harmoni yang
indah. Alunannya berhasil membuat kupu-kupu singgah sejenak di depan kamar
kami. Kupu-kupu itu membawa pesan bahwa kami orang gila. Sialan. Kupu-kupu
memang tidak bisa dituduh baik.
Dua menit terlewat. Belalang Tempur menyatakan dirinya
sudah siap. Cerita tentang Merry menguap bersama bahan bakarnya yang keluar
melalui kenalpot. Jo segera kupamiti. Harapku, dia menarik lagi doanya. Karena
aku khawatir, biasanya doa orang teraniyaya akan mujarab. Tapi semoga, itu
hanya doktrin yang bertujuan untuk menetralkan emosi orang tersebut.
Kosku tercepit oleh beberapa rumah besar. Jalan menuju
jalan utama sangat sempit. Papan pengumuman ‘Motor Harap Dimatikan’ terpasang
di mana-mana. Aku segera mematikan Belalang Tempur saat berada di awal jalan
sempit itu. Dia tampak kecewa. Aku belai dia sejenak, aku beri penjelasan
seperlunya. Syukurlah. Dia akhirnya mau mengerti.
Aku menuntun Belalang Tempur dengan menunduk dalam-dalam.
Karena aku tidak ingin bertatapan mata dengan Pak Ramon, pemilik jasa loundre
yang berada di jalan sempit itu. Menurutku, dua bola Pak Ramon aneh. Sorotnya
seperti bertanya: “Kapan kamu loundre di sini?” Di samping itu, Pak Ramon juga
hobi curcol alias curhat colongan.
Pernah suatu kali aku bertemu Pak Ramon di sebuah warung
kopi. Awalnya dia hanya bertanya kenapa aku tidak pernah menggunakan jasa
loundrenya. Ketika itu aku menjawab bahwa uang kiriman orang tua hanya cukup
untuk beli detergen pencuci baju. Jatah untuk loundre dialihkan ke pembiayaan
buku. Mendengar jawaban dan wajah melasku, Pak Ramon mengangguk. Dia
menunjukkan wajah yang tidak ingin menyelidik kenapa aku tidak pernah menggunakan
jasa loundrenya. Aku bernapas lega. Ancaman pertanyaan itu bakal sirna.
Tapi ternyata, aku hanya terlalu berbaik sangka padanya.
Pak Ramon hanya bertahan tiga hari untuk tidak bertanya padaku. Selanjutnya,
pertanyaan itu terus mendarat di telingaku. Karena itu, aku memilih menghindar
bertemu dengannya.
Di warung kopi itu, aku memang duduk berdampingan dengan
Pak Ramon. Jarak kami hanya sehasta. Jadi, aku tampak akrab
sekali.
Setelah menanyakan pertanyaan picisannya, Pak Ramon mulai
curcol. Dia berkisah mulai dari istrinya yang cantik jelita, bunga desa, dan
primadona yang jadi rebutan banyak lelaki; yang pada akhirnya Pak Ramon-lah
yang menjadi juaranya. Dia bangga sekali saat itu. Bahkan, dia ingin sekali menepuk-nepuk dadanya yang sudah mulai kusut termakan usia.
Nama primadona itu adalah Siska. Jarak umurnya dengan Pak
Ramon hanya terpaut tiga tahun. Jujur saja, Pak Ramon memang memiliki wajah
rupawan. Sisa-sisa ketampanannya masih menggaris tegas di wajahnya. Jadi,
kepercayaanku terhadap kisahnya tentang primadonanya mendekati delapan puluh
lima persen. Sebuah prosentasi yang besar.
Pak Ramon belum surut sedikit pun. Dia masih bersemangat
membicarakan istrinya. Katanya lagi, Siska- kemudian aku memanggilnya Bu Siska-
memiliki mata tidak bulat dan tidak pipih. Dagunya tidak lonjong dan tidak
tumpul. Hidungnya mancung menggoda dan pipinya sering kemerahan saat tersorot
matahari. Aku memasang wajah serius atas penjelasan ini, meski hatiku sudah
tidak bisa lagi diam. Tawaku meledak di palungnya.
Tapi tiba-tiba, Pak Ramon menjadi murung. Dua matanya
berkaca-kaca. Dia hampir tidak sanggup melanjutkan cerita bahagianya dengan
sang primadona itu. Hening tercipta sejenak. Aku melihat wajahnya lekat-lekat.
Dia menarik napas panjang. Kemudian bibirnya berkalimat lagi.
Kali ini dia tampak marah. Dadanya bertambah kusut. Dia
mengatakan bahwa Bu Siska telah menjadi milik orang lain. Aku hampir saja
melompat dari tempat dudukku kemudian tertawa terguling-guling di tanah. Aku
tidak menyangka Pak Ramon bisa semelankolis itu.
Seolah mendengar permintaanku, Pak Ramon melanjutkan
ceritanya. Dulu, katanya, Bu Siska sangat bahagia hidup berdampingan dengan Pak
Ramon. Di dua tahun pertama pernikahannya, mereka langsung dikaruniai seorang
anak laki-laki. Dia tampan seperti Pak Ramon, dan bertubuh menawan mewarisi
tubuh Bu Siska.
Kehadiran Riki, anak laki-laki mereka, membuat keduanya
seperti lupa segalanya. Kata Pak Ramon, dia tidak membutuhkan surga lagi. Pun
begitu juga dengan Bu Siska. Karena surga sudah ada di wajah anaknya.
Akan tetapi, saat Riki berusia tujuh tahun, badai itu
datang. Dan Pak Ramon beserta istrinya lupa menyiapkan pelindung. Badai itu
adalah rayuan maut dari para lelaki yang dulunya sangat mengharapkan tidur
dengan Bu Siska.
Dari waktu ke waktu, keberadaan Bu Siska di sisi Pak
Ramon terus digoyang. Situasi itu didukung oleh usaha Pak Ramon yang mendekati
titik nadir. Sebentar lagi gulung tikar.
Dulu, sebelum melamar Bu Siska, selain memilik wajah yang
tampan Pak Ramon juga sedang merintis usaha pengolahan kayu. Dua faktor itu
menjadi nilai lebih bagi orang tua Bu Siska untuk menerima pinangannya.
Pak Ramon menyeruput kopinya sebentar. Kemudian kembali
bekisah.
Namun saat Riki lahir, Pak Ramon terlena. Usaha
pengolahan kayunya layu. Kekayaan yang dimilikinya hampir menghilang.
Dan puncaknya, pada suatu malam yang senyap dengan rintik
hujan yang terus turun, Pak Ramon melihat istrinya sedang mendesah hebat. Ada
seorang lelaki tampak berkeringat sedang duduk di bawah perutnya. Dua mata Pak
Ramon ingin melompat keluar. Jantungnya terasa ingin berhenti. Pak Ramon
seperti terhuyung. Dia tampak akan rubuh. Akan tetapi, dia tidak ingin kalah.
Itu tekadnya.
Pak Ramon berusaha untuk menjaga keseimbangan aliran
darahnya. Dia harus bertahan. Dengan perasaan yang komplet, Pak Ramon
mendatangi Bu Siska yang sedang orgasme.
Melihat kedatangan Pak Ramon, laki-laki itu melompat dan
ingin segera kabur. Sementara Bu Siska menarik selimut untuk menutupi
kemaluannya yang terlanjur basah.
Pak Ramon sungguh laki-laki yang tabah dan bijaksana. Dia
tidak melampiaskan amarahnya kepada dua iblis di depannya itu. Keduanya bahkan
dibiarkan untuk berpakaian lagi. Setelah itu, Pak Ramon mengajak mereka
berbicara di tempat yang layak.
Dengan wajah yang serba ketakutan, Bu Siska dan
selingkuhannya mengekor di belakang Pak Ramon. Kemudian ketiganya duduk
berhadapan. Dan tanpa panjang bicara lagi, Pak Ramon menalak Bu Siska saat itu
juga. Pak Ramon mengatakan kepada Bu Siska, jika dia memaafkan perbuatannya.
Ketika Bu Siska bertanya tentang keputusannya menalak, Pak Ramon hanya menjawab
bahwa: “sisa pengolahan kayu hanya bisa dibuat bahan bakar”. Bu Siska terbengong. Dia kurang paham dengan jawaban Pak Ramon.
Semua sudah selesai. Malam itu juga, Pak Ramon
meninggalkan rumah tanpa membawa bekal apa pun. Dia hanya membawa baju yang
dipakai saat itu. Rumah dan seisinya dia tinggalkan begitu saja. Katanya, itu
hadiah untuk dua iblis yang telah berbuat buruk di rumahnya.
Aku terdiam. Lalu menghela napas panjang. Namun di akhir
cerita ini, Pak Ramon tampak bangga. Kebanggannya melebihi saat dia berhasil
meminang sang primadona desa itu. Aku tidak bertanya lagi. Aku biarkan Pak
Ramon bermain-main dengan ceritanya. Curcol yang dramatis.
Aku sudah tidak menunduk lagi. Pandanganku sekarang lurus
ke depan. Aku tersenyum lega. Pak Ramon sedang menutup kios londrenya.
Belalang Tempur sudah siap meluncur. Mesinnya sudah
meraung-raung galak. Dia memberi isyarat padaku untuk segera naik. Aku membaca
sigap isyaratnya.
Aku memutar gas, Belalang Tempur melaju dahsyat. Karpet
hitam memanjang dilewatinya dengan penuh semangat. Namun tiba-tiba lajunya
memelan. Jalanan menjadi padat. Pagi itu, banyak mobil parkir memanjang di
sepanjang jalan menuju kampus.
Aku sempat menggerutu, tapi gerutuanku berganti senyum
yang merekah. Pepatah itu memang benar. Selalu ada kemudahan di balik
kesusahan. Karena Belalang Tempur jalannya sangat pelan, maka dua mataku bisa
mengawasi dengan leluasa para mahasiswa baru yang sedang semangat-semangatnya
pergi ke kampus.
Mereka begitu beragam. Ada yang berkerudung ada yang
tidak. Ada yang memakai celana panjang ada yang memakai rok mini. Semuanya
menjadi sajian gartis pagi itu.
Momen itu begitu menggoda mata. Sebagai laki-laki yang
memiliki kewajaran dalam ketertarikan terhadap lawan jenis, aku pasang mataku
baik-baik. Terutama, untuk bokong yang terbalut legging. Bokong itu begitu
menyembul mencolok mata. Indah. Tapi apa daya, tangan tak pernah sampai
merengkuhnya. Aku tertawa sendiri. Karena aku menyadari, aku begitu kurang ajar
terhadap ciptaan Tuhan yang satu itu.
Belalang Tempur juga merasa bahagia pagi itu. Dua matanya
juga tak berhenti menghitung bokong yang berseliweran di depan kami. Uh, rezeki
min haisu la yahtasib.
Hampir sepuluh menit terlewat, gerbang kampus Universitas
Negeri Malang berdiri kukuh menghias mata. Dari kejahuan, mahasiswa terlihat
seperti semut yang pulang ke rumah. Mereka merayap. Mereka berdesakan.
Belalang Tempur berhenti lagi saat berada di pos
pemeriksaan STNK. Untuk masuk, aku harus mengambil nomor dan menyerahkan lima
ratus perak. Nomor itu tidak boleh hilang. Karena nomor itu akan diminta saat
meninggalkan kampus. Aturan yang heroik sekali menurutku.
Aku melirik jam digital di ponsel. Angka di layar masih
jam delapan kurang lima belas menit. Sisa waktu yang masih cukup aman bagi
manusia kaslan, begitu kata dosenku di kelas dulu. Dan aku juga ingat,
saat mengatakan itu dua mata beliau mengarah tepat ke wajahku. Ah, dulu aku
suka menjadi culun.
Aku memelankan laju Belalang Tempur. Aku ingin menikmati
tiap jengkal keindahan yang ditawarkan kampus yang telah mengeramiku hampir
lima tahun itu. Banyak taman dan gazebo yang berdiri kukuh di tengahnya. Di
atas gazebo, banyak mahasiswa yang bercengkerama. Biasanya mereka terdiri dari
empat sampai lima mahasiswa. Namun jika hanya ada dua mahasiswa-mahasiswi,
mereka bukan lagi bercengkerama tapi saling mencengkeram. Itu kata Jo. Dan
celakanya, aku tidak mengerti maksudnya.
Aku berada tepat di depan gedung Pascasarjana. Aku
menyelidik dengan cepat. Pemandangan yang kudapati masih sama. Pemandangan itu
adalah mahasiswa dan mahasiswi yang sudah tidak muda lagi. Sebagian dari mereka
berkacamata. Ada yang benar-benar dibutuhkan mata, dan ada yang hanya
dibutuhkan hati. Menurutku, kacamata bagi mahasiswa Pascasarjana adalah sebuah
keniscayaan. Semoga bukan simpulan yang bodoh.
Gedung yang berisi mahasiswa lanjut usia itu sudah
kupamiti. Sekarang, Belalang Tempur tepat berada di depan sebuah masjid kampus.
Namanya masjid Al-Hikmah. Aku melirik sebentar. Aku melihat banyak orang
berkerumun empat sampai lima orang. Kata temanku, itu namanya mentoring.
Pemandangan yang membosankan.
Aku melaju lagi dengan sangat pelan. Karena parkir kampus
untuk Sastra, fakultasku, berada di baratnya masjid tersebut. Letaknya hanya
berjarak sepuluh meter. Dan gedung fakultasku berada di baratnya parkiran.
Sebuah urutan yang magis. Namun kata Sunoto, teman satu angkatan yang kini
celananya menjadi cingkrang, itu urutan yang biasa saja. Ah, Sunoto. Bagiku,
dia kurang menikmati setiap kejadian yang ada di semesta. Karena baginya, tubuh
dan seluruh perabotnya untuk memikirkan Tuhan. Lucu sekali dia.
Aku segera menempatkan Belalang Tempur di tempat yang
paling layak. Di atasnya pohon besar meneduhinya. Bisa kupastikan, saat pulang
dari kampus Belalang Tempur akan mempunyai semangat baru.
Aku membelainya sejenak sebagai simbol pamitku
meninggalkannya sebentar. Dua matanya mengerling semangat. Pesannya: “Jangan
lupa melintasi kelas Sastra Jerman”. Aku mengangguk. Sejak dulu, Belalang
Tempur memang selalu tahu apa yang terpikir di kepalaku.
Aku berjalan santai. Kulirik lagi layar ponselku. Masih
jam delapan kurang lima menit. Aku menghela napas lega lagi. Karena aku masih
bisa berjalan pelan sambil menelusuri keramaian Maba yang sedang bingung
menunggu PA-nya untuk minta tanda tangan. Jangan menyerah! Seruku pada mereka
dalam hati.
Aku masuk gedung E-7. Di dalamnya ada
kantor dosen semua jurusan fakultas Sastra. Di fakultasku, ada beragam jurusan
yang menggoda iman. Mulai Sastra Arab, Jerman, Inggris, Indonesia, sampai Seni
Rupa ada di sana.
Kantor dosen jurusanku terletak di sebelah kanan pintu
masuk gedung yang ada di selatan. Aku langsung menuju ke sana. Pintunya
menutup. Aku berjinjit untuk mengintip ke dalam. Tapi ternyata kosong.
Dosen-dosen tidak ada di sana. Termasuk Pak Hanafi pembimbing skripsiku. Aku
memutar badan dan segera meninggalkan kantor kosong itu. Dan opsi keduanya
adalah kantor JSA atau kepanjangannya adalah Jurusan Sastra Arab.
Di kantor itu, Kajur dan Sekjur selalu ada di sana. Dua
orang inilah yang –kata temanku- sing bahurekso Sastra Arab. Karena
semua urusan akademik JSA, harus ada coretan tinta kedua orang tersebut.
Selain Kajur dan Sekjur, biasanya ada dosen lain yang di
sana. Mereka inilah dosen-dosen kesepian. Karena di kantornya sendiri tidak ada
teman dosen lain. Di kantor JSA tersebut, dosen-dosen kesepian ini akan
berbincang dengan Kajur, dan kadang-kadang juga dengan Sekjur.
Dosen-dosen kesepian ini juga menjadi pengamat tetap bagi
mahasiswa yang mempuyai urusan akademik, konsultasi skripsi, dan mahasiswa
mengajukan proposal kegiatan. Komplet.
Aku sudah berdiri tapat di depan pintu kantor JSA. Aku
mendengar sedikit riuh dari dalamnya. Aku tersenyum lega. Karena aku yakin, Pak
Hanafi menjadi bagian dari keriuhan itu. Aku mengetuknya dengan semangat yang
utuh. Dengan sebelumya kurapikan rambut dan kerah bajuku. Pagi itu, aku merasa
sangat ganteng.
Setelah ada perintah dari dalam, aku membuka pintu yang
menutup rapat. Aku segera mengedarkan pandangan ke semua sudutnya. Kemudian aku
membuka suara,
“Assalamualaikum. Afwan, Ustaz Hanafi maujud?”
sapaku pada mereka. Kajur menoleh padaku. Begitu juga dengan Sekjur. Tatapan
mata dua pejabat ini sangat teduh dan berwibawa. Aku dibuat segan dan sungkan.
Aku juga menjadi sedikit gerogi.
“Waalaikum salam. Ustaz Hanafi maa fiih,” jawab Ustazah Jihan mewakili. Sedangkan Kajur dan
Sekjur hanya mengangguk. Aku sedikit kecewa. Padahal, kami sudah janjian.
“Afwan. Hal ta’rifin aina Ustaz?” tanyaku lagi.
“Afwan. Maaroftu,” jawab Ustazah
Jihan lagi sambil menggelengkan kepala. Mendengar jawabannya yang pasrah,
prosentasi kecewaku meningkat drastis. Aku harus segera pamit. Karena jika
berlama-lama di kantor itu, aku akan menjadi bahan intorgrasi mereka.
“Naam. Syukron. Wassalamualaikum,” pamitku sambil memutar badan.
“Waalaikumussalam,” jawab mereka
kompak.
Aku langsung turun ke lantai satu. Aku menggerutu. Aku
kecewa. Tapi tidak ada yang mendengar. Akhirnya, aku menjadi tertawa sendiri.
Aku melirik layar ponselku lagi. Angkanya masih
menunjukkan delapan lebih lima belas menit. Jika aku pulang sepagi itu, maka Jo
akan mengolok-olokku dengan mengatakan jika Pak Hanafi enggan sekali menjumpai
manusia busung lapar sepertiku.
Aku harus memutar otak. Aku buka dompetku. Di sana masih
ada beberapa lembar rupiah. Jatah makanku dan makan Belalang Tempur masih ada.
Tapi sepagi itu, bukan waktu yang asik untuk sarapan. Karena akan membuat
perutku mulas dan sebah. Aneh.
Karena alasan itu, membeli beberapa batang rokok adalah
pilihan yang sangat cerdas.
Aku bergegas menuju jalan utaranya fakultas Sastra. Di
sana ada kafe khusus mahaiswa. Namanya kafe Jangkar. Kafenya sempit. Mahasiswa
pengunjung sering kali duduk di luar kafe.
Pemiliknya adalah orang Arodam. Aku belum terlalu
akrab dengan mereka. Tapi hampir semua teman satu angkatanku akrab dengan
mereka. Aku sering bertanya kepada mereka, kenapa aku paling tidak akrab dengan
pemilik kafe itu? Mereka menjawab: “Karena dompetmu banyak lubangnya.” Aku terbahak mendengar jawaban itu. Mereka memang teman yang sangat
menyenangkan. Pepatah bilang: Kullil haqqo walau kaana murron!
Aku bergegas berjalan menuju ke kafe Jangkar. Dulu, saat
kali pertama berkunjung ke kafe Jangkar, aku sering berpikir kenapa kafe sempit
itu dinamai “Jangkar”. Terlintas dalam otakku bahwa sesuatu yang paling dekat dengan
jangkar adalah kapal laut yang besar nan gagah itu. Jangkar digunakan oleh
kapal besar tersebut untuk parkir di pelabuhan.
Namun, dilihat dari segi bentuknya kafe Jangkar sama
sekali tidak menyerupai kapal. Malah menurutku, bangunannya dimodel seperi
kubus; yang sisi-sisinya sama panjang. Lalu kenapa harus “Jangkar”?
Mendengar kegundahanku atas nama kafe itu, Rojal –temanku
yang berasal dari Surabaya- berceletuk: “Yo sakarepe sing nduwe kafe to, Sam!”.
Aku manyun. Namun, Kahar –temanku asal Blitar- menyusul jawaban Rojal. Dia
mengatakan bahwa mungkin pemilik kafe itu menyamakan jangkar dengan berhentinya
rezeki. Jadi, semua pembeli yang datang ke kafe itu adalah korban dari jangkar
tersebut. Rasa-rasanya, semua orang yang melewati sekitar area kafe merasa
seperti terhenti, dan pada akhirnya parkir di dalam kafe itu.
Penjelasan Kahar tersebut sebenarnya sangat menggoda
pikiranku untuk setuju dengannya. Akan tetapi, teman-teman satu kelas terlanjur
menganggap Kahar manusia klenik, suka mengada-ada cerita.
Aku masuk ke kafe itu dan segera menuju etalase yang di
atasnya ada kotak kaca yang di dalamnya ada berbagai macam merk rokok. Aku
membeli dua batang. Aku bukan perokok aktif yang rela ‘kere’ asal bisa merokok.
Bagiku, rokok hanya pengalih perhatian pikiran suntuk. Itu saja tidak lebih.
Setelah membayar dua batang rokok yang kuambil, aku
segera keluar dari kapal imajinasi itu. Aku meninggalkan ingar-bingar
manusia-manusia korban jangkar versi Kahar. Aku kembali ke gedung fakultas
lantai satu dan terus menuju portal yang terletak di antara gedung fakultas dan
gedung perkuliahan. Karena jam setengah sembilan adalah waktu hijrah mahasiswa
Sastra Jerman dari gedung E-6 menuju gedung H yang letaknya di timurnya
fakulstas Teknik. Jadi, duduk di portal dengan menikmati rokok adalah ajaib
sekali. Selain bisa mengusir geram karena gagal konsultasi, aku juga bisa
melihat mereka pasang aksi di depanku.
Aku menyulut rokokku dengan gaya konvensional. Ujung
rokok menyala, lalu aku mengisapnya dan mengembuskan asapanya ke udara
membentuk lingkaran. Saat itu, aku merasa mirip koboi yang mengisap cerutu
terlebih dahulu sebelum mereka beradu tangkas menembak. Uh, seksi sekali.
Jarak jalan utama yang akan mereka lewati dengan portal
yang kududuki tidak lebih dari lima meter. Otomatis, jarak pandangku sangat
meyakinkan. Bisa kupastikan, semua yang melewati jalan utama tersebut akan
tercetak jelas di dua bola mataku. Aku mengisap rokokku lagi. Tapi asapnya
tidak bulat lagi.
Aku mengisap dan mengisap lagi. Batang rokokku sudah tandas
separuh. Tapi yang kutunggu belum juga terlihat. Aku menunggu lagi.
Mudah-mudahan tidak lama lagi.
Satu rokok berhasil kuhabisi. Aku segera menyambung
dengan rokok keduaku. Aku menyulutnya dengan cepat. Rokok menyala dan isapan
pertamaku bentuk lingkaran lagi.
Tapi saat aku mau mengisap lagi, dua mataku tertawan oleh
lima mahasiswi berkerudung dengan bajunya yang panjang terusan. Bukan jeans
atau rok potongan. Segera kusimpulkan itu adalah mahasiswi jurusan Sastra Arab.
Aku teringat saat aku dan Kahar ngerasani beberapa
teman kami yang mahasiswi. Kata Kahar, kelas kami mirip sekali dengan
pesantren. Tidak seperti kelas-kelas pada jurusan lain. Kahar melanjutkan,
tidak ada satu pun kelas perempuan kami yang berani berbusana seperti
mahasiswi-mahasiswi jurusan lain. Terutama jurusan Sastra Jerman atau sastra
Inggris.
Karena tampilan yang seragam itu, mahasiswi jurusan
Sastra Arab mudah sekali dikenali. Sehingga dalam mindset kami tercetak
kalimat bahwa kerudung dan baju panjang adalah mahasiswa jurusan Sastra Arab.
Tapi harapku, semoga itu hanya lelucon Kahar saat dia mabuk Nahwu dan Shorof.
Lima mahasiswi berkerudung itu berjalan dengan ceria.
Senyum kecil nan indah mengiringi langkahnya. Akan tetapi, saat hendak melintas
di depanku tiba-tiba mereka padam, sunyi, dan lengang. Senyum itu kabur bersama
sepoi pagi.
Aku tidak kaget dengan situasi seperti itu. Karena hampir
semua mahasiswi Sastra Arab sangat dingin dengan orang yang tidak mereka
kenali.
Tapi tiba-tiba,
“Tunggu ...,” teriak seorang
mahasiswi, yang juga berkerudung. Dua alisku membuat gerakan. Bibir hatiku
berkalimat: “Bajunya tidak sama.”
Mahasiswi itu berjalan agak cepat mengejar lima mahaiswi
yang baru saja melintas di depanku. Dua mataku enggan sekali berpaling darinya.
Tapi tiba-tiba juga, aku melompat. Karena rokok yang baru
kunyalakan jatuh tepat di pahaku. Aku tidak sadar, jepitan jariku seperi
melonggar. Dan aku tahu, mahasiswi yang berlari itu penyebabnya. Itu sudah
pasti.
Aku menangkap semuanya. senyumnya. Gerak kakinya. Bahkan
gigi-giginya yang dirapatkan oleh behel. Kelihatannya itu behel mahal. Semoga.
Ia penjaring ikan. Aku yakin. Bukan hanya itu. Dia juga
seorang paranormal kelas televisi. Aku korban hipnotis itu. Dia tidak menoleh.
Tapi aku sudah mendapatkannya. Rekam wajah ayunya.
Aku mengela napas kagum. Hari itu, keberuntunganku tidak
bisa diganggu gugat. Seperti kerak-kerak pematang sawah yang tertembus hujan.
Dingin dan segar.
Aku masih tersenyum mensyukuri anugerah pagi itu. Namun,
tiba-tiba aku juga murung. Sebab aku takut, dia hanya sekali kulihat.
Setelahnya, aku hanya akan menanggung simpul-simpul mimpi tentang ayunan
tangannya yang periodik. Berirama. Jangan-jangan, aku tidak mengharapkan itu.
Aku masih di portal. Rokok sudah kubinasakan. Rasanya
jadi hambar. Sebab kecantikanmu, mahasisiwi berbehel itu, telah menghanyutkan
segalanya. Aku tak berkutik. Lalu aku berjanji: aku akan melihatmu lagi.
Udara kian mesra. Embusannya meniupkan ruh semangat dalam
nadi tubuhku. Namun dia, tak sekadar penyemangat. Aku tahu, banyak mata malang
menghaturkan mantra untuknya. Memujanya. Merindukan bayangnya. Semua berharap
bisa berbincang sepatah dua patah kata dengannya.
Aku terjeda. Sekitar lima menit lamanya. Bibir ini tak
berhenti tersenyum. Dua mata ini tak berhenti berucap syukur. Sementara dia
telah ditelan jarak. Dia tidak ada lagi.
Aku tarik napasku dalam-dalam. Sebab aku ingin
mendefinisikan tentangnya. Begini kira-kira.
Dia bermata almond. Jika dia menangis, maka kegersangan
akan sejuk. Sebab tetesan itu adalah mukjizat. Pipinya putih. Ada garis
kecantikan di sana. Saat cahaya matahari berselancar di permukaannya, pipinya
kemerah-merahan. Namun itu warna pink. Atau mungkin
juga megenta. Yang pasti, aku ternganga dibuatnya.
Kerudungnya modis, kataku. Bukan besar bersayap, atau
utuh seperti burka. Pasti mata-mata malang akan semakin bergumam. Tentu
tabungan kerinduan itu juga akan semakin penuh. Aku kagum.
Pernah suatu ketika Jo berceletuk. Katanya burka itu
simbol ketidakadilan. Aku tidak menyela. Aku diam. Khidmad. Jo bersemangat. Dia
melanjutkan, coba bayangkan! Aku mengangguk. Wanita pemakai burka hanya
kelihatan bola matanya –yang sepertinya- sangat mengancam. Tidak adilnya?,
tanyaku. Ya jelas! Wanita pemakai burka akan menikmati wajah kita secara utuh.
Bahkan, dia bisa membedakan mana wajah penuh jerawat dan wajah mulus. Sementara
kita? Hanya bisa mendelik. Menjulurkan kepala seraya menajamkan dua mata kita.
Dan, hasilnya? Hanya bola matanya yang kita dapat. Itu pun jika tidak
berkacamata. Aku terhenyak. Otak miskin Jo juga bisa membuat humor.
Tampaknya dia memang beda. Wajahnya oval. Hidungnya
-jelas- mancung. Gigi-giginya sensual. Dia tahu betul, jika behel membuatnya
semakin dirindui. Dia sempat sedikit tersenyum. Indah. Menghanyutkan. Seketika,
kepalaku penuh imajinasi.
Dia beda. Sekali lagi; dia beda! Dia mengenakan baju yang
bukan seperti yang mereka pakai. Bukan terusan. Atau semacam jubah; yang aku
tebak pasti menimbulkan banyak keringat. Namun bajunya kemeja berwarna hijau
samar. Kenapa bisa samar? Sebab, tidak hijau. Juga bukan tidak selain hijau.
Entah. Itu warnanya apa. Jika kupadankan, maka hijaunya tampak semburat. Warna
yang menggoda mata.
Sedangkan untuk bawahan, dia mengenakan jeans. Pakaian
–yang sepertinya- haram dikenakan oleh mahasiswi jurusanku. Aturan itu tidak tertulis.
Tapi itu kesepakatan maya yang dibikin berama-ramai dan dilaksanakan
ramai-ramai. Namun dia tidak. Dia mempunyai arus sendiri. Jalan sendiri. Aturan
sendiri.
Lalu tiba-tiba aku berpikir keras. Dia mahasiswi
jurusanku? Tentu tidak. Kenapa? Karena dia beda. Beda kenapa? Karena dia
cantik. Jurusanmu tidak ada yang cantik? Ada. Lalu? Sebab dia beda. Itu saja.
Dia telah berlalu. Tapi hanya jasadnya. Ruh genapnya
masih memandangiku dengan teduh. Di palung hatiku. Di langit-langit otakku. Di
celah mataku. Di antara aliran darahku. Aku seperti tertambat. Tapi pada apa?
Jatuh cinta dengan sekilas bayang? Tidak mungkin. Meski utuh? Belum tentu juga.
Aku bahagia tak terhingga. Pak Hanafi bukan lagi perkara
yang musti lalu-lalang dalam kecemasanku. Biarlah aku menua di kampus itu.
Sebab aku punya sekilas bayangan itu. Bayangan yang menguatkan.
Puji Tuhan. Memberiku anugerah yang tak hanya berharga.
Aku membungkusnya dengan senyum. Aku berdiri. Memutar
badan. Portal itu adalah persembahan bagiku yang geram dan kecewa. Terima
kasih!
Aku berjalan menuju peraduan Belalang Tempur. Aku yakin,
dia sudah ingin bertemu denganku. Langkahku cepat. Kerena semangat. Senyumnya
tak bisa kuhentikan. Aku mencintai bayang itu? Kali ini aku tak menjawab.
Aku sudah masuk
area parkir. Ponselku menjerit kencang. Sebuah pesan singkat masuk. Dari Jo.
Dia menungguku di depan kampus. Di sebuah warung kopi. Lokasinya bersebelahan
dengan SMK. Kata Jo lagi, penghuni sekolahan itu sedang pulang pagi. Aku tidak
membalasnya. Sebab aku tahu arti gelagatnya itu.
Belalang Tempur sudah menyala. Uang sewa berteduh juga
sudah kubayar. Aku melaju. Aku memenuhi undangan karibku itu.
Hanya lima menit. Belalang Tempur sudah berdiri gagah di
depan warung kopi. Jo melempar senyum. Dia bersama tiga temannya. Adi, Nuril
dan Hanna. Ketiganya cowok dan aku mengenalnya dengan baik. Mereka menyapaku,
“Sam ...”
Aku mengangguk. Dan segera mengambil duduk.
“Mana pesananku, Jo?” tanyaku pada Johan. Dia menggeleng.
“Belum pesan!”
“Keat!” Aku berseru. Lalu berdiri. Johan terbahak.
Dia mengumpat,
“Udelmu kero!”
Aku sudah memesan. Aku duduk bersama mereka lagi.
“Sebentar lagi,” bisik Jo di telingaku, “percaya sama aku!”
Itu hobinya. Mendeteksi area dalam siswi SMK. Setelah itu
main tebak-tebakan. Pagi itu, aku dipaksa ikut. Payah. Karena aku menurut.
Benar saja. Hanya lima menit menunggu. Siswa-siswi SMK
mulai tumpah. Seperti laron yang keluar sarangnya. Jo pasang mata. Aku juga.
Tidak terlewat, Adi, Nuril dan Hanna juga. Untuk siswa silakan minggir. Sebab
mata kami khusus untuk siswi.
Mereka –para siswi- mulai berjalan bergerombol. Tiga,
empat sampai lima. Jo merinding. Sebab dia mendapati seorang siswi yang
berkutang merah. Mecolok. Tanpa pelapis. Kata Jo, kutangnya sengaja dibuat
mini. Biar isinya tampak menantang.
Ada lagi. Dua orang siswi berjalan beriringan. Melintasi
wilayah kami. Mereka terbahak. Sehingga dadanya naik turun. Kutangnya putih.
Juga tanpa pelapis. Sedang satunya, hanya mengenakan mini set. Edan. Sepertinya
ini sebuah kesengajaan. Puting yang menantang adalah obsesinya.
Berikutnya. Ada tiga siswi. Mereka juga melintasi wilayah
kami. Mereka cantik-cantik. Putih bersih wajahnya. Jo tampaknya tertarik dengan
mereka.
Yang pertama, kutangnya tidak terlihat warnanya. Karena
ada lapisan terluarnya. Tapi bentuknya menonjol sekali. Menantang. Putingnya
juga tampak ingin melompat. Jo menelan ludah.
Kedua, juga masih sama. Kutang juga tidak terlihat. Tapi
dadanya agak ceper. Kata Jo, dia telat tumbuh. Kami terbahak seperti setan.
Mereka tidak peduli.
Ketiga paling sensual. Sebab ia tanpa kutang. Hanya
miniset warna pink yang menjadi tempat persembunyian daging kenyal itu. Saatnya
berfantasi.
“Sekali kulum, pasti meloncat. Keterlaluan. Sudah SMK
tidak pakai kutang,” Jo berceloteh.
“Itu yang kamu mau, kan?” sahutku.
“Itu maunya mereka!”
Itu maunya mereka? Benar. Juga bisa tidak benar. Kutang
dan payudara memang milik mereka. Tapi mata milik siapa? Penis yang ereksi
milik siapa? Otak imajinatif milik siapa? Bodoh. Itu bukan pertanyaan. Sebab,
mana ada nafsu menjawab pertanyaan.
Jo benar. Jo juga salah. Kenapa? Karena liar. Itu
mutualisme?
Tidak akan berhenti sebelum Jo dan tiga temannya pergi
untuk mastrubasi. Tidak berhenti juga jika belum tiga kali mastrubasi. Atau
setidaknya penisnya sudah tidak menyodok celana dalamnya. Pantas aja Jo kurus.
Itu batinku. Aku? Maaf, rahasia!
Aku merenung sejenak.
Siapa yang salah?
Peringatan saja. Orang tua harus waspada. Buktinya, Jo
tidak membuat rekaan bagi mereka yang menutup auratnya dengan utuh. Terutama
yang berkerudung.
Aku segera menyalakan Belalang Tempur. Itu warung
langganan kami. Aku dan Jo.
“Dibayar Johan.”
Aku kabur. Meski celanaku agak menonjol.
Waktu sudah hampir jam sepuluh. Sudah waktunya sarapan.
Rencanaku berikutnya adalah segera sampai di kos. Kemudian menidurkan Belalang
Tempur. Setelah itu makan.
Aku sudah berada di depan gang yang menjadi jalan utama
menuju kosku. Dan juga kios loundrenya Pak Ramon. Ah, aku senang. Merasa lega.
Karena kios Pak Ramon tutup.
Aku turun dari Belalang Tempur. Kemudian menuntunnya
masuk gang. Pelan. Rumah ketujuh dari mulut gang adalah kios Pak Ramon. Namun
aku tidak peduli.
Aku berjalan dengan santai. Kios Pak Ramon sudah
terlihat. Benar! Masih tutup. Aku berjalan terus. Namun sebuah tangan hinggap
di bahu kananku. Aku menoleh. Pak Ramon menampilkan wajah murung. Tepat di
depanku.
“Baru pulang?” sapanya.
“Iya, Pak.” Aku mengangguk.
“Repot?” tanyanya.
“Tidak! Jawabku spontan.
Bodoh! Bodoh! Aku memang bodoh. Harusnya aku berbohong.
Harusnya aku bilang banyak pekerjaan dan tidak bisa diganggu. Harusnya juga aku
bilang temanku sudah menunggu di kamar. Tapi bibirku kelu saat itu. Wajah
murungnya mempunyai kekuatan gaib. Aku yakin sekali.
Pak Ramon tidak tersenyum. Dia hanya mengajakku masuk ke
kiosnya. Aku menurut.
Dia menyuruhku duduk. Dia juga duduk.
Tepat di depanku.
“Saya bingung dengan diri saya,” tiba-tiba saja dia membuka suara.
Apa urusanku? Apa peduliku?
“Hm. Pak Ramon sedang ingat anak istri?” tanyaku agak
ragu. Dia bereaksi. Sepertinya itu pertanyaan
yang dia harapkan.
“Benar. Bagaimana kalau aku mati nanti? Lalu kuburku gelap. Jika
mereka tidak ingat aku lagi, bagaimana mereka berkenan berdoa untukku?”
Aku iba sebenarnya. Namun aku harus bagaimana?
Mendiamkannya? Dengan cara seperti apa?
“Mereka tahu Bapak ada di sini? Di kota ini?”
“Tidak tahu!”
“Anak Bapak?”
“Dia menjadi mayat. Karena ibunya!” serunya geram. Aku
menjadi serba salah.
Tiba-tiba dia menangis.
Bukan. Bukan menangis. Dia hanya meneteskan bulir air mata. Kata
“mayat” dia ulang lagi. Pak Ramon bukan pendendam. Dia hanya geram dengan takdir. Dengan garis hidupnya.
Dia bersuara lagi,
“Andai Tuhan itu adil ...”
Aku tergagap. Aku tidak percaya Sang Maha Adil menjadi
tidak adil di hadapan Bapak sial itu. Aku seperti tertelan pusaran.
Aku ingin kabur. Namun tidak mungkin. Dia pasti melarangku. Sebab Pak Ramon tidak terlihat akrab dengan siapa pun.
Hanya aku tumpahan kegeramannya. Tapi aku jadi sakit hati. Tapi Tuhan tidak.
“Tuhan itu bukan saja adil, Pak. Tapi Dia Maha Adil.”
“Bagaimana dengan takdirku? Istriku ditindih orang lain.
Tuhan bungkam. Diam. Mungkin juga memang terdiam,” jelasnya geram.
“Jika bagiku, takdir tidak datang sembarangan. Tiap
akibat pasti mempunyai sebab. Dan tentang takdir Bapak, Bapak-lah yang lebih
tahu.”
Bodoh. Aku bodoh lagi. Kenapa aku harus menanggapinya.
Bukankah perutku sudah menangis. Jam sudah terlewat siang.
Berikutnya, aku hanya mencari cara untuk kabur darinya.
Pak Ramon tampak merenung. Kalimatku dia cerna. Aku memandanginya tepat di keningnya. Harapku, Pak Ramon pamit
untuk tidur. Mudah-mudahan.
“Bapak mau mati? Tahu Bapak kapan mati?” tanyaku
berikutnya.
Sial. Aku memang sial. Kenapa aku memulai perbincangan
lagi.
“Iya. Aku ingin mati. Besok aku mati,” jawabnya putus asa.
“Bagaimana dengan dua pegawai Bapak? Mereka makan apa?
Uang dari mana. Bahkan yang satu sudah punya anak satu. Itu tanggung jawab,
Bapak!”
“Jika mati semua lunas. Putus kontrak.”
“Bagaimana Bapak akan mati?”
“Tapi aku takut kuburku gelap. Tidak ada doa melayang di
atap kuburku. Bagaimana jika aku kelaparan? Apa ada makanan? Bagaimana jika aku
sakit kepala? Apa ada kopi?”
Aku terhenyak lagi. Pak Ramon membuat teka-teki. Aku terdiam.
Terjeda oleh keputusasaannya. Pak Ramon putus asa. Tuhan tidak suka itu. Aku
tahu. Kata-Nya: Laa taiasu fii rauhillah.
Namun apa Pak Ramon tahu ayat itu. Sebab dia buta aksara. Tapi telinganya mendengar. Iya, memang. Dia bisa mendengar. Dia mendengar banyak cerita atau hikayat.
Tapi dia melewatkan ayat itu. Tidak harus sama. Isinya saja
yang sama. Bukankah Simbok selalu berbicara: “Ojo nyerah karo kahanan”.
“Tiap kejadian pasti ada hikmah. Tentu, lebih parah dari
Bapak masih banyak.”
Dia yang terhenyak.
Aku menunggu jawabnya.
Dia tampak
menerawang. Jauh. Ke tempat yang jauh. Barangkali memang tidak tergambarkan.
“Aku tetap ingin mati. Karena dengan mati aku jadi
berarti. Namun aku takut kuburku akan selalu gelap. Sempit. Pengap.” Dia menangis sungguhan ketika itu.
Pak Ramon tidak seperti yang dulu. Itu tajuknya siang
itu. Waktu yang merambat hampir jam sebelas siang. Perutku tidak hanya
menangis. Tapi juga merintih. Aku lapar, Pak. Aku lapar.
Dia berseru,
“Bagaimana dengan laparku?”
Apa peduliku? Jika peduli, apa yang bisa kuperbuat.
Nyatanya Anda sudah menyerah!
“Bapak belum makan?”
“Aku lapar akan kematian. Lihat, bagaimana Tuhan
membenciku. Umurku sudah genap tujuh puluh tahun. Jari-jariku sudah suka
bergetar sendiri. Namun Ia tidak segera mengambilku. Aku ingin lahir kembali.
Mungkin jadi nahkoda pesiar. Biar aku bisa tidur dengan banyak wanita.”
Anda gila. Anda sudah gila. Anda miring.
“Yang baru kemarin lahir sudah mati tanpa dia meminta. Sementara aku?” katanya melanjutkan.
Aku ingin kabur. Tapi tidak bisa. Sebab, dia mengusikku.
“Jika Dia ingin Bapak
mati. Pasti terjadi. Bapak sudah berapa pahalanya?”
Dia tercengang.
Tubuhnya kaku. Bibirnya seperti terjahit.
“Aku hanya takut kuburku gelap, Nak!”
Dia memanggilku. “Nak ....” Syadu sekali. Dia menjadi lumpuh. Dia akan menganulir niatnya untuk mati.
“Jika masih bernapas, Tuhan masih menggenapkan
ampunan-Nya.”
“Bagaimana jika aku menuntut istriku? Apakah Tuhan akan
memberiku istri yang sama. Aku selalu terbayang pijitannya. Pahanya mulus.
Putih bersih.”
Aku benar-benar kalah. Bukan kalah. Tapi sesungguhnya aku
memang bodoh. Ini adalah minggu pertama. Sebab aku lupa. Dia selalu begitu di minggu itu.
Aku pamit. Dia tidak melihatku.
Mulutnya komat-kamit. Pak Ramon berbicara sendiri. Dia tidak mempedulikanku yang berjalan berjinjit di depannya.
Naas. Pak Ramon tak kunjung sembuh. Kecelakaan tahun lalu
teramat sadis. Tapi lebih sadis lagi adalah aku yang lupa. Jika itu adalah
minggu pertama.
Sebab, Pak Ramon selalu membaca mantra.
Aku menuntun Belalang Tempur lagi. Sial dia tertawa mengejek. Dia melihat kebodohanku.
Aku sudah berada di depan kos. Belalang Tempur segera
kumasukkan. Karena aku harus segera makan. Asam lambung sudah memberi isyarat.
Aku keluar kos lagi. Tujuanku adalah warung kuno yang
tidak mirip warung. Rumah biasa. Hanya saja, di meja ruang tamunya ada bakul
nasi dan beberapa panci yang berisi sayur. Murah meriah. Nambah nasi tidak
bayar lagi. Sejak seminggu menjadi penghuni kos, aku sudah makan di warung itu.
Pemiliknya terkenal dengan nama “MJ”. Marry Jean? Tentu
bukan. Tapi MJ-nya pemilik warung itu adalah “Mak Jah”; seorang janda yang
tidak mempunyai anak. Karena itu, dia mengangkat
anak. Dia ambil dari dari saudara jauhnya.
MJ adalah hadiah dari Bang Maskur dulu. Senior kos yang
saat aku masuk, dia sudah berkemas akan pulang kampung karena sudah
rampung studinya. Dia berasal dai Blitar. Di UM, dia mengambil jurusan Teknik Arsitektur. Dia pendiam. Matanya
suka layu. Tapi hadiah itu sungguh membekas. Sebab aku yakin, tujuh turunan
penghuni kosku akan memakai nama itu, MJ!
***
Menjelang sore. Sekitar pukul empat. Udara berembus
manja. Sedikit dingin. Aku duduk di kursi beton. Aku ingin berkidung. Tentang
kamu. Tentang semilir,
“Dua matamu tajam namun juga teduh. Kau berlari.
Langkahmu indah. Memenjarakan mata. Belum lagi dagumu. Kau bayang. Iya, memang
bayang. Tapi aku bergetar hingga sore ini. Sebab, kau melintas. Kau hadir. Dari
mana. Ke mana. Adakah sejumput jawab?”
Hari terus merambat petang. Dingin tidak manja lagi. Tapi
sekarang tampak jahat. Menusuk-nusuk.
Cakrawala tampak bersolek, sebab senja sebentar lagi
datang berkunjung. Aku memandanginya sejenak. Aku bergetar lagi. Ada kamu. Ada
gigimu yang rapat. Ada pipimu yang tampak merah, bukan merona. Tapi samar. Itu
hakikat keindahan.
Aku menunggu besok. Karena Jo harus mendengarnya. Tentang
dia – yang jauh di sana- bersama mata-mata malang yang
selalu melantunkan doa.
