Minggu, 12 September 2021

Portal Rasa

 

 



Semua dimulai dari pagi itu. Hampir-hampir sebulan. Sebelum aku tergila-gila denganmu.

***

Pagi itu, 2007, Malang ingin tampil seksi. Sentuhan dingin pada kulit ari meningkat derajatnya. Sekitar tiga kali lipat. Momok menakutkan bagiku, bagi penghuni kos kami. Dan tentu saja, nama-nama kami akan bertanda silang di buku hadir mahasiswa. Dosen hanya menggelengkan kepala. Dan kami selalu tidak peduli.

Kos kami tidak jauh dari kampus. Hanya berjarak satu kilometer. Tapi itu bisa menjadi seratus kilometer jika Malang benar-benar seksi. Kaki kami seolah mendapat beban tidak hanya lima kilogram tapi lebih dari itu. Kaki-kaki kami berat sekali diajak untuk melangkah. Dan memperpanjang waktu tidur adalah pilihan yang paling mulia bagi kami. Kadang aku terbahak sendiri mendengar kalimat itu. Menurutku, kami sudah miring. Jo, selalu setuju denganku.

Aku baru saja bangun. Serbuan dingin terus menyerang tubuhku dari semua sudut. Aku masih mengenakan jaket. Karena sejak semalam, selimut gagal membuatku hangat. Aku butuh tambahan jaket sebagai pelapisnya. Jika sudah hangat, tidur pun akan nikmat. Begitu aturan bakunya.

Aku keluar kamar dan duduk di kursi beton. Katanya sudah puluhan tahun kursi itu ada di depan kamarku. Lalu aku menatap langit. Di atas sana hanya biru. Tapi kadang juga putih cerah. Awan seperti sedang bermain petak umpet bahagia. Tak ketinggalan, burung-burung yang tak punya hobi nangkring juga pasang aksi tidak jauh dari awan yang sedang bahagia itu. Aku tersenyum. Indah sekali.

Hari itu adalah hari Selasa. Jadwal rutin konsultasi skripsi. Dosen pembimbingku tidak galak. Tapi beliau pintar sekali bermain sihir. Karena tiba-tiba saja suka menghilang. Dan tiba-tiba lagi ada ketika jadwal konsultasi habis. Kejadian itu membuatku kadang berprasangka di luar logika. Ah, sudahlah. Beliau memang bisa bermain sihir.

Perlu kalian semua tahu, skripsiku sudah memakan waktu satu setengah tahun. Tapi belum ada simbol ‘titik’ yang bisa membuat bibir orang mengatakan bahwa aku sudah siap lulus. Mengerikan sekali.

Sesuai kesepakatan, jadwal bertemu dosen pembimbing adalah jam delapan tepat. Tidak kurang tidak lebih. Begitu ancam beliau. Aku mengangguk patuh. Meski hatiku menjerit jika beliau itu bersandiwara. Aku tertawa. Karena aku sadar. Aku suka berbuat jahat dengan mengarang tuduhan-tuduhan itu. Pagi itu masih jam enam lewat lima belas menit. Artinya, waktu luangku masih sekitar satu jam lebih. Ah asiknya.

Di satu setengah jam itu aku benar-benar tidak sibuk dengan persiapan menghadap beliau. Karena semua atribut khas sebagai mahasiswa penulis skripsi sudah rapi di dalam tas. Termasuk pulpen cadangan. Perlu diketahui, sejak peristiwa itu, saat kali pertama konsultasi, aku tidak pernah membawa hanya satu pulpen. Karena sejak saat itu pula aku tahu, pulpen yang aku bawa kadang suka tidur lelap di saku beliau. Dan aku tidak tahu cara membangunkannya.

Aku menatap langit lagi. Di sana masih ada awan yang sedang berbahagia. Juga burung-burung yang masih sibuk beraksi. Untuk merespon mereka, tidak ada cara paling sakti selain membuat seduhan kopi. Aku segera berdiri.

Kos kami sederhana. Terdiri dari lima belas kamar, tiga kamar mandi dan satu dapur. Untuk perairan, pompa air tenaga listrik ditiadakan. Karena itu anjuran pemerintah untuk menghemat persediaan listrik negara yang semakin menipis. Sebagai gantinya, pompa itu bertenaga mahasiswa yang rata-rata perutnya buncit akibat perbuatannya yang suka membohongi perut. Perut yang lapar selalu terjawab dengan air putih yang jumlahnya sangat menakutkan. Tapi kata Jo, itu bukan salah kami. Itu salah perut. Karena selalu lapar di saat yang sangat tidak tepat. Aku segera menutup mulut. Karena tidak ingin melukai perasaan karibku itu dengan tertawa yang berlebihan. Dia segera mengelus bahuku. Katanya, dia selalu jatuh cinta dengan ulahku.

“Jo ...”

“Apa?”

“Tai!”

Jo terbahak-bahak sambil berucap: “Cintaku bertepuk sebelah tangan!”

Dapur kami kecil. Ukurannya dua kali dua. Jika ada dua penghuni kos memasak mie instan bersamaan maka tubuh kami akan berpagutan. Karena di dapur bukan hanya ada peralatan dapur, tapi juga ada sebuah lemari besar yang sudah lapuk. Isinya adalah barang-barang penghuni kos yang sudah tidak berada di kos itu lagi.

Dapur kami memiliki dua kompor yang berbahan minyak tanah. Karena pada saat itu, konversi gas LPG belum menyentuh nurani kami. Kami masih kolot. Kami masih berpendapat jika minyak tanah jauh lebih murah dari gas LPG. Tapi jika diusut secara tuntas, fakta yang sebenarnya adalah bahwa dari sekian penghuni kos tidak ada satu pun yang mempunyai niat untuk membeli kompor gas LPG. Karena kantong mereka mempunyai banyak lubang. Itu saja alasannya. Dan kompor minyak tanah itu? Keduanya adalah warisan. Entah dari siapa. Yang jelas, saat aku masuk kos itu kompor sudah ada. Dan wujudnya sudah tidak sedap dipandang mata lagi.

Aku menyalakan kompor cepat-cepat untuk merebus air. Kompor menyala dan teko kecil sudah duduk manja di atasnya. Aku kembali ke kamar untuk membuat racikan kopi. Kopi yang kupunya adalah bekal dari ibuku di kampung. Rasanya menyala sekali. Itu adalah kopi khas produksi ibu. Sudah lama sekali ibuku membuat serbuk kopi yang hasilnya bisa kupakai untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Racikan sudah siap. Aku bergegas menuju dapur.

Teko sudah mengembuskan uap panas. Tutup mungilnya juga sudah bergoyang. Aku yakin, air yang kurebus sudah sempurna mendidih.

Kemudian aku menuangkannya ke cangkir yang sudah berisi racikan kopi. Air dan racikan kopi segera beraksi. Suaranya yang ‘nyes’ menggema di semua sudut dapur. Dan tidak lama setelahnya, aroma khas kopi tubruk memenuhi dua lubang hidungku. Rasanya, ingin segera kutenggak semuanya.

Aku kembali duduk di kursi beton depan kamar. Bedanya, sekarang aku tidak sendiri. Ada secangkir kopi yang duduk tenang di sampingku. Asapnya yang ganjen, membuatku semakin bersemangat menyambut datangnya pagi. Kembali, langit jadi sasaran dua bola mataku.

“Kapan lulus, Nak?” tiba-tiba suara itu muncul lagi. Aku tidak tahu itu yang ke berapa. Aku tidak sanggup lagi menghitungnya. Dan jawaban dari pertanyaan itu selalu sama: “Sebentar lagi, Bu.

Aku menyadari dengan sepenuh hati. Itu pilihan dan itu adalah risikonya. Menjadi mahasiswa karet memang keren, meski telinga akan mudah sekali memerah. Karena pertanyaan tidak pernah mempunyai variasi.

Teman berkata: “Kita masuk di sini sangat susah, kenapa kita harus mudah keluar lagi?” Aku mengapresiasinya dengan dua gigiku yang tampak menguning. Dia sering tidak suka dengan ulahku.

Satu tegukan masuk ke dalam kerongkonganku. Lamunan tentang pertanyaan monoton Ibuku menguap. Aku kembali di alam nyata. Langit menjadi media tatapan mataku lagi.

Waktu masih menyisakan setengah jam lagi. Tapi kopiku masih setengah cangkir. Aku ingat pepatah: “Ojo sampek skripsimu ngganggu ngopimu”. Aku terbahak sendiri. Norma itu di mana lagi? Tapi tidak. Itu bukan perihal norma. Itu memang aturan baku bagi pecandu kopi kelas kakap sepertiku. Meski seleraku tidak pernah serius.

Tidak bisa dipungkiri. Aku memang patuh dengan aturan baku itu. Bagiku, termasuk dosa besar jika menyepelekan aturan yang tidak pernah tahu siapa perumusnya itu. Karena itu, aku masih belum beranjak dari dudukku. Kulirik cangkir kopiku sebentar. Lalu bergumam: “Tuhan Maha Asik!”

Pintu kamar sebelah kamarku membuka. Jo keluar dengan mulut menganga. Aku tahu, dia sedang membuang gas-gas beracun sisa semalam.

Sekilas tentang Jo. Tubuh Jo juga menderita ‘sakit’ akibat pembohangan perut. Tingkat ekonomi kami berimbang. Jatah makan kami hanya dua kali sehari. Dan untuk menggenapi biar tiga kali, kami membohongi perut kami. Kami minum air yang banyak sebagai ganti.

Jo adalah adik tingkatku. Dia berasal dari Caruban-Madiun. Di UM, dia mengambil jurusan PGSD. Katanya, guru SD banyak yang tidak berkualitas. Karena itu, dia ingin menjadi pahlawan meski sedikit kesiangan.

Jo tidak sepertiku. Dia tidak suka kopi. Dia hanya minum teh hangat. Menurutnya, teh akan memperpanjang hidupnya. Sementara umurku akan diperpendek karena suka minum kopi. Aku tidak menanggapinya. Aku biarkan dia terbang dengan imajinasi tololnya itu. Meski begitu, aku tahu Jo adalah teman yang sangat baik. Aku juga tahu Jo tidak akan pernah meninggalkanku saat aku jatuh.

Orang tua Jo adalah petani melon. Dulu, katanya, orang tuanya sangat kaya karena melon menjadi primadona. Melon berharga seperti emas, katanya meyakinkanku. Tapi setelah beberapa periode terlewat, melon meluncur ke jurang. Setengah hektar sawah orang tua Jo terpaksa terjual. Sejak saat itu, Jo resmi menjadi mahasiswa yang bergelar ‘kurang mampu’ dan layak mendapat beasiswa dari kampus.

Suatu ketika Jo bercerita padaku tentang usaha orang tuanya menanam melon. Menurutnya, harga melon yang jatuh di pasaran itu memang setting-an. Ada aktor di balik itu semua. Dua alisku bergerak. Mataku menyipit. Aku pasang baik-baik telingaku.

Jo melanjutkan. Katanya, cara aktor itu menjatuhkan harga melon sangat cerdik dan rapi. Sehingga pihak penegak keadilan tidak bisa mengendusnya. Menurut Jo, langkah awal mereka adalah dengan merekayasa pestisida dan pupuk. Pestisida yang diedarkan ke petani melon adalah pestisida oplosan. Cara pengoplosannya berkala. Tidak langsung sekaligus. Perlahan, mereka mencampur pestisida asli dengan bahan yang malah merusak melon. Petani jelas tidak bisa mendeteksi ini. Jikalau pun bisa, mereka juga tidak tahu harus berteriak ke mana. Semua seolah tutup telinga.

Di samping kualitas pestisida yang di bawah standar karena dioplos, stoknya juga semakin jarang. Dan jika petani sudah merasa kesulitan mencarinya, pestisida segera diedarkan kembali akan tetapi dengan harga yang melangit. Hasil penjualan melon tidak sanggup menutupnya. Efeknya, banyak petani yang menjual sawahnya untuk membayar utang. Rapi dan keji sekali rekayasa itu, kata Jo berapi-api.

Sedangkan untuk pupuk, tidak begitu cara main curangnya. Untuk pupuk cukup dengan membuatnya langka. Itu saja. Karena dengan begitu, melon pasti menderita busung lapar.

Menurut Jo, semua itu ulah importir buah yang bekerja sama dengan dinas pertanian. Para pelaku impor ini akan berdalih bahwa produksi melon dalam negeri sangat mengecewakan. Mendengar laporan itu, pegawai dinas pertanian akan mengulum senyum. Mereka akan menerima begitu saja laporan fiktif itu. Setelah itu, mereka akan menerbitkan surat izin impor melon besar-besaran bagi para pelaku impor mbeling itu.

Pegawai dinas pertanian tidak peduli dengan nasib petani melon. Jo mengatakan, mereka itu hanya peduli dengan perut istri dan anak-anaknya, ditambah lagi –kadang- perut istri simpanannya. Mereka akan mendapat fee dari hasil penerbitan surat izin tersebut. Jo geram, dia selalu berdoa semoga orang-orang seperti itu mati karena menelan racun tikus. Aku tertawa keras. Doa Jo itu sangat lucu sekali.

Jo menatapku curiga saat aku ketawa sendiri. Tatapan matanya penuh tanya. Biasanya, aku dianggapnya sinting. Dia mendekat padaku dan mulut penuh menteganya membuat suara,

Lapo, Sam? Kon, koyoane edan?” tanyanya dengan bahasa khas Malangan. Jo tergolong pendatang yang ingin membaur. Dia ingin menunjukkan kepada semua orang jika di mana pun bumi dipijak maka di situ langit dijunjung. Karena itu, dia belajar ekstra keras tentang bahasa Malangan yang ciri khasnya adalah dengan membalik kata-katanya. Mas akan dibalik menjadi ‘Sam’. Begitu seterusnya.

“Tidak, Jo. Aku hanya prihatin saja. Perutmu sepertinya semakin buncit,” jawabku dengan gurau. Jo mendelik. Bibirnya beraksi lagi,

Lambe tah wajan iku?

Wes. Tidak perlu diperpanjang. Aku mau mandi. Pagi ini jadwalku konsultasi. Bagaimana skripsimu?” tanyaku sambil menandaskan kopi yang masih tersisa di cangkir.

Mandek. Dosen pembimbingnya ke luar kota. Edan tenan!

“Yaudah. Cari kode saja ben ga edan!” Aku terus menggodanya. Dia manyun dan enggan menatapku lagi. Aku masih menyimpan tawa di perut.

Aku kembali masuk kamar untuk mengambil handuk kumalku. Sumpah, pagi itu aku mandi dan keramas. Aku tidak ingin dituduh Pak Hanafi, dosen pembimbing skripsiku, sebagai sapi yang sudah tujuh hari tidak dimandikan di sungai. Sehingga baunya tidak hanya sengak, tapi juga bikin mata merem-melek.

Tapi jika kupikir dalam-dalam, apa yang dikatakan Pak Hanafi ada benarnya. Meski aku tidak memiliki masalah bau badan, tapi jika tiga hari badanku tidak tersentuh air baunya memang seperti sapi yang lupa mandi.

Aku melangkah menuju penghakiman itu. Pintu kamar mandi terbuka lebar. Dia sudah tidak sabar ingin menelanku. Langkahku seperti terhenti. Ada keraguan menjalari tubuhku. Aku memaksa melangkah. Karena waktu juga memburuku. Semoga air itu menjadi hangat. Ah, tapi aku bukan Ibrahim; yang bisa membuat api menjadi dingin dan sebaliknya. Jadi, kupastikan bahwa pagi itu aku masuk kulkas.

Aku mulai mengguyur tubuhku. Benar saja, mandi pagi hari di Malang memang tidak ada bedanya dengan menyerahkan diri pada lambung kulkas. Aku menggigil. Tapi tuduhan Pak Hanafi menjelma penghangat. Aku melanjutkan mandiku.

Selain mngguyur tubuh, aku juga segera mengguyur rambut. Setelah itu, sampo membuatnya berbusa. Aku tidak ingin lama-lama menggigil. Kusudahi mandiku setelah busa dirambutku hanyut bersama air.

Aku keluar kamar dengan lilitan handuk di badan. Aku berjalan santai. Meski di atas kosku adalah kos-kosan cewek, aku yakin mereka sangat tidak tertarik dengan tubuh kurusku.

Aku masuk kamar dan membuat hangat tubuhku.

***

Aku keluar kamar dengan baju hem lengan pendek dan celana jeans yang sudah tiga minggu tidak aku cuci. Karena kata Jo, celana jeans semakin tidak dicuci maka akan semakin elegan. Untuk manusia pemalas seperti diriku, perkataan Jo serupa sabda. Aku benar-benar mematuhinya.

Tas yang berisi senjata untuk menghadapi Pak Hanafi sudah tidur nyenyak di punggungku. Mulai dari draft skripsi yang siap dicoret sampai pulpen cadangan sudah ada semuanya. Saatnya memakai kaus kaki dan sepatu. Jika dua benda itu sudah ikut menempel di tubuhku, maka yang terakhir adalah membuat hangat si Belalang Tempur.

Jo kerap kali memegangi perutnya. Katanya, penamaan motorku itu di luar akal sehat. Aku terlalu berlebihan. Dia mengusulkan sebuah nama untuk motorku: Bebek Reot!

Aku marah pada Jo. Dia tidak kusupa satu hari penuh. Dan malamnya, dia mengirimkan upeti untuk permohonan maaf. Satu bungkus kopi dan gula. Indah sekali sogokannya.

Tapi jika dipikir-pikir, aku tidak berlebihan. Belalang Tempur memang sangat pas untuk motorku. Meski kelasnya bukan kelas super, motorku sudah berjasa banyak dalam kehidupanku.

Sekelumit tentang Belalang Tempur. Dia dilahirkan pada tahun 2003. Tepatnya pada tanggal 12 September. Artinya, tanggal lahir kami sama. Itu keramat sekali kata orang dulu. Maka itu, sampai kapan pun tidak akan pernah kubiarkan motorku terjual.

Belalang Tempur terbeli saat aku masih kelas dua SMA. Harganya ketika itu adalah sembilan juta delapan ratus ribu rupiah. Tapi itu harga kontan. Sementara aku membelinya dengan harga cicilan. Jadi saat lunas, motorku berganti harga menjadi sekitar dua belas jutaan.

Belalang Tempur memiliki nama asli ‘Legenda II’. Dia prodak Honda yang di negeri kami menjadi pabrikan motor primadona. Kata orang dulu, jika beli motor bukan prodak Honda maka si pembeli adalah orang yang buta pengetahuan. Mitos itu membuat hatiku ngilu.

Kali pertama Belalang Tempur memasuki area sekolahan, aku mendapat julukan alien yang mendarat darurat. Hal itu bukan karena Belalang Tempur yang terlihat keren, tapi helm yang kupakai menjadi penyebabnya. Helm itu diameternya hampir dua kali lipat kepalaku, jadi saat helm itu kupakai tubuku tampak seperti penderita busung lapar. Lengkap sudah. Aku menggenapinya, Alien yang sedang busung lapar. Teman-temanku kompak tertawa. Setelah itu, mereka mencoba Belalang Tempur satu per satu. Kata mereka, motor baru harus dirayakan. Aku hanya mengangguk setuju.

Belalang Tempur terus menemaniku di SMA. Dia juga berjasa besar atas kedekatanku dengan perempuan cantik yang kuincar, meski pada akhirnya aku tidak mendapatkannya. Barangkali, Belalang Tempur tidak berminat aku bersanding dengannya. Dan aku curiga, itu hanya akal-akalannya saja untuk bersaing denganku. Artinya, jika aku bisa dekat dengan perempuan cantik itu otomatis si Belalang Tempur juga merasakan sentuhan manjanya.

Perempuan itu bernama Mary, tapi aku dan teman sekelas memanggilnya Merry. Evolusi yang sukses. Dari desa menuju pos-modern. Semoga dia tidak marah kusimpulkan seperti itu.

Merry berwajah tidak oval tapi agak lonjong. Hidungnya mancung. Jika tersenyum, lesung pipitnya berebut muncul di mataku. Indah sekali bentuknya. Tingginya ideal dengan tubuhnya. Dan jika berjalan, rumput-rumput seperti menunduk menghaturkan kagum. Begitu juga denganku.

Merry adalah anak kedua dari dua bersaudara. Bapaknya seorang polisi dan ibunya adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Rumah tinggal Merry sangat teduh. Karena dikelilingi oleh persawahan yang menghijau. Aku suka sekali lewat depan rumahnya, meski aku harus menderita gemetaran saat melintas. Itu bonus kataku. Tuhan memang Maha Mengejutkan.

Di kelas, Merry kerap menjadi bahan eksploitasi mata-mata gemas sepertiku. Merry selalu menjadi trending topic tiap kali kami berkumpul. Kata Rudi, Merry itu ngangenin. Jika kataku, Merry hanya milikku. Mimpi konyolku ketika itu.

Merry memiliki jari-jari yang halus nan lentik. Hasil goresan penanya membuat aku dan teman cowok yang lain berebut untuk meminjam catatannya. Merry juga menjadi langganan untuk menyalin catatan di papan tulis. Aku amati, ada beberapa guru kami yang memang malas menulis.

Aku dan teman cowokku satu kelas seperti terkena sihir saat Merry mulai menyalin catatan guru di papan tulis. Kelas menjadi senyap. Aku dan yang lainnya menjadi bersemangat sekali mengikuti tarian jarinya di papan yang berwarna hitam itu. Mungkin begini, gerak tubuh Merry serupa jaring nelayan dan kami adalah ikan-ikan yang malang.

Ada satu kejadian unik saat itu. Teman sebangkuku, tanpa kuprediksi sebelumnya, juga tergila-gila dengan Merry sama sepertiku. Tapi bedanya, dia lebih pemberani ketimbang diriku. Dia tidak segan-segan mengumumkan itu kepada teman cowok yang lain, bahkan juga ke beberapa teman cewek.

Cahaya, teman sebangkuku, suka sekali membagi perasaan sukanya kepada Merry denganku. Tidak jarang pula dia meminta nasihat kepadaku tentang bagaimana menaklukkan Merry. Aku menelan ludah. Perasaan cintaku kepada Merry makin tersembunyi di palung hatiku. Aku benar-benar gagap saat itu.

Setelah mengetahui Cahaya tergila-gila dengan Merry, aku matian-matian menghapus namanya di hatiku. Aku tahu, itu cinta monyet. Tapi aku benar-benar gila jika terus memaksa untuk tidak cinta padanya. Karena itu, kuputuskan untuk menjadi pemuja rahasianya. Itu jalan satu-satunya yang kupunya.

Setelah resmi menjadi pemuja rahasianya, aku terbebas dari satu kewajiban yang sangat berat menurutku. Yakni mengungkapkan perasaanku pada Merry. Selain itu, aku juga tidak akan bertarung dengan tradisi kolot keluargaku yang mengatakan bahwa pacaran itu sangat dilarang.

Sebagai pemuja rahasia Merry, aku tetap berlaku profesional kepada Cahaya. Ketika dia menceritakan tentang Merry kepadaku, aku juga harus menyimaknya dengan baik. Aku tidak boleh sedikit pun menunjukkan rasa tidak sukaku terhadap cerita Cahaya tentang Merry. Bukan tugas yang ringan.

Menjadi pemuja rahasia seorang perempuan itu rumit. Kala itu, aku harus mencatat hampir semua agenda Merry mulai masuk sampai jam pulang. Karena aku tidak boleh kehilangan satu momen pun tentangnya.

Dari hasil pengamatanku diam-diam, aku mendapatkan beberapa catatan yang sangat strategis tentang Merry. Catatan ini sangat membantuku untuk menikmati kebersamaan dengannya tanpa dia sadari.

Pertama, Merry hampir selalu ke kamar kecil sepuluh atau lima belas menit sebelum bel istirahat menjerit di mana-mana. Pada kesempatan itu, sekali dua kali aku juga izin ke kamar mandi. Melihat tampilanku yang tidak pernah menunjukkan gelagat jatuh cinta pada Merry, maka teman-teman sekelas memandangku biasa saja. Tidak ada satu pun yang berceletuk jahil seperti yang terjadi kepada Cahaya.

Kamar kecil di sekolah kami untuk cewek dan cowok berdekatan. Untuk privasi, di tengahnya ada tembok sebagai pemisah. Akan tetapi akses menuju ke sana hanya satu. Sehingga, aku dan Merry bisa dipastikan bertemu.

Momen itu sangat sakral menurutku. Karena di saat itu, aku dan Merry hanya berdua. Kebersamaan kami memang singkat, tapi kami hanya berdua. Tatapan mata kami beradu tajam. Dan bibir kami saling melempar senyum. Aku bahagia. Semoga saja dia sama.

Kedua, Merry hampir pasti ke Koperasi Sekolah dua menit setelah bel istirahat. Dia ke sana selalu mengajak Rana, teman sebangkunya. Untuk rutinitas ini, aku tidak membuntutinya. Aku hanya akan duduk di taman yang berjarak lima belas meter dari koperasi. Dari taman itu aku melafalkan kecantikannya. Hatiku berwarna sekali ketika itu. Oh, cinta itu ajaib sekali.

Ketiga, Merry akan di halte saat bel pulang. Kecuali ada ekskul yang memaksanya tinggal di sekolah. Di halte itu, dia akan mencegat angkot yang akan mengantarkannya sampai parkiran motor yang tidak jauh dari rumahnya.

Biasanya, sekali dua kali, aku juga akan berada di situ. Aku akan menumpang angkot yang sama. Dan di dalam angkot, aku akan sering-sering meliriknya. Tapi jika duduk kami berdampingan, dia akan menyapaku. Dan efeknya, di hatiku ada gempa bumi. Dahsyat sekali.

Aku ingat ketika itu. Pernah satu kali, angkot hanya menyisakan duduk untuk kami berdua. Setelah angkot melaju, dia menyapaku.

“Hai, kamu tidak ikut ekskul?” sapanya halus. Napasnya membuatku terlena. Harum sekali.

“Hm, tidak,” jawabku terbata. Gempa itu membuatku gagap berbicara. Setelah itu, kami menjadi patung sampai aku turun dari angkot. Merry seperti melambaikan tangan melepasku, tapi gempa itu membuatku tidak kuat lagi membalas lambaian tangannya.

Aku dan Merry satu kelas sampai kelas dua. Karena kelas tiganya, dia memilih jurusan IPA sementara aku lebih memilih IPS yang konon katanya merupakan kasta kedua dalam penjurusan. Namun aku tidak peduli. Di kelas itu aku berkenalan dengan J.J Rosoe, Montesque, Immanuel Kant, sampai Karl Marx. Menyenangkan sekali waktu itu. Tapi sayangnya, guru pengajarnya bukan tipe pendongeng yang baik.

Statusku sebagai pemuja rahasia berhasil kupertahankan sampai kami lulus sekolah dan kemudian merantau ke Malang. Merry memilih UB dan aku UM. Kami masih bertetangga.

Waktu berputar sangat cepat, tiga tahun berlalu Merry berhasil menyelesaikan studi D3-nya. Sementara aku masih sibuk menyelesaikan tugasku sebagai praktikan mengajar di salah satu Madrasah.

Beberapa waktu setelah kelulusannya, Merry mengirimkan undangan pernikahannya. Bumi menurutku tidak utuh lagi. Bahkan matahari serasa berhenti bersinar saat undangan itu membelalakkan dua bola mataku. Predikatku sebagai pemuja rahasianya luluh lantak tak tersisa. Uh, masa lalu yang menggemaskan.

Aku menyalakan Belalang Tempur. Sekali pencet, dia menyala penuh semangat. Seperti biasa, dia membutuhkan waktu satu sampai dua menit untuk mengkondisikan dirinya benar-benar siap untuk menapaki karpet hitam yang tergelar sepanjang jalan menuju kampusku.

Jo mendekatiku lagi. Dia mengambil duduk persis di sebelah kiriku. Dia kelihatan layu.

“Ada apa, Sam?” tanyaku padanya.

“Biasa, kiriman telat,” jawabnya malas.

“Ha ha ha. Inna Allaha Ma’as Shobirin.” Aku tertawa sambil mengelus bahunya yang penuh tonjolan tulang. Dia tidak bereaksi. Tampaknya dia kesal denganku. Namun aku terlanjur tidak peduli.

“Tak doakan draft skripsimu jatuh ke selokan. Amin.” Dia membalas ulahku. Tapi aku malam tertawa lebar. Melihat itu, dia juga terpancing untuk tertawa. Jadinya, suara tertawa kami membentuk harmoni yang indah. Alunannya berhasil membuat kupu-kupu singgah sejenak di depan kamar kami. Kupu-kupu itu membawa pesan bahwa kami orang gila. Sialan. Kupu-kupu memang tidak bisa dituduh baik.

Dua menit terlewat. Belalang Tempur menyatakan dirinya sudah siap. Cerita tentang Merry menguap bersama bahan bakarnya yang keluar melalui kenalpot. Jo segera kupamiti. Harapku, dia menarik lagi doanya. Karena aku khawatir, biasanya doa orang teraniyaya akan mujarab. Tapi semoga, itu hanya doktrin yang bertujuan untuk menetralkan emosi orang tersebut.

Kosku tercepit oleh beberapa rumah besar. Jalan menuju jalan utama sangat sempit. Papan pengumuman ‘Motor Harap Dimatikan’ terpasang di mana-mana. Aku segera mematikan Belalang Tempur saat berada di awal jalan sempit itu. Dia tampak kecewa. Aku belai dia sejenak, aku beri penjelasan seperlunya. Syukurlah. Dia akhirnya mau mengerti.

Aku menuntun Belalang Tempur dengan menunduk dalam-dalam. Karena aku tidak ingin bertatapan mata dengan Pak Ramon, pemilik jasa loundre yang berada di jalan sempit itu. Menurutku, dua bola Pak Ramon aneh. Sorotnya seperti bertanya: “Kapan kamu loundre di sini?” Di samping itu, Pak Ramon juga hobi curcol alias curhat colongan.

Pernah suatu kali aku bertemu Pak Ramon di sebuah warung kopi. Awalnya dia hanya bertanya kenapa aku tidak pernah menggunakan jasa loundrenya. Ketika itu aku menjawab bahwa uang kiriman orang tua hanya cukup untuk beli detergen pencuci baju. Jatah untuk loundre dialihkan ke pembiayaan buku. Mendengar jawaban dan wajah melasku, Pak Ramon mengangguk. Dia menunjukkan wajah yang tidak ingin menyelidik kenapa aku tidak pernah menggunakan jasa loundrenya. Aku bernapas lega. Ancaman pertanyaan itu bakal sirna.

Tapi ternyata, aku hanya terlalu berbaik sangka padanya. Pak Ramon hanya bertahan tiga hari untuk tidak bertanya padaku. Selanjutnya, pertanyaan itu terus mendarat di telingaku. Karena itu, aku memilih menghindar bertemu dengannya.

Di warung kopi itu, aku memang duduk berdampingan dengan Pak Ramon. Jarak kami hanya sehasta. Jadi, aku tampak akrab sekali.

Setelah menanyakan pertanyaan picisannya, Pak Ramon mulai curcol. Dia berkisah mulai dari istrinya yang cantik jelita, bunga desa, dan primadona yang jadi rebutan banyak lelaki; yang pada akhirnya Pak Ramon-lah yang menjadi juaranya. Dia bangga sekali saat itu. Bahkan, dia ingin sekali menepuk-nepuk dadanya yang sudah mulai kusut termakan usia.

Nama primadona itu adalah Siska. Jarak umurnya dengan Pak Ramon hanya terpaut tiga tahun. Jujur saja, Pak Ramon memang memiliki wajah rupawan. Sisa-sisa ketampanannya masih menggaris tegas di wajahnya. Jadi, kepercayaanku terhadap kisahnya tentang primadonanya mendekati delapan puluh lima persen. Sebuah prosentasi yang besar.

Pak Ramon belum surut sedikit pun. Dia masih bersemangat membicarakan istrinya. Katanya lagi, Siska- kemudian aku memanggilnya Bu Siska- memiliki mata tidak bulat dan tidak pipih. Dagunya tidak lonjong dan tidak tumpul. Hidungnya mancung menggoda dan pipinya sering kemerahan saat tersorot matahari. Aku memasang wajah serius atas penjelasan ini, meski hatiku sudah tidak bisa lagi diam. Tawaku meledak di palungnya.

Tapi tiba-tiba, Pak Ramon menjadi murung. Dua matanya berkaca-kaca. Dia hampir tidak sanggup melanjutkan cerita bahagianya dengan sang primadona itu. Hening tercipta sejenak. Aku melihat wajahnya lekat-lekat. Dia menarik napas panjang. Kemudian bibirnya berkalimat lagi.

Kali ini dia tampak marah. Dadanya bertambah kusut. Dia mengatakan bahwa Bu Siska telah menjadi milik orang lain. Aku hampir saja melompat dari tempat dudukku kemudian tertawa terguling-guling di tanah. Aku tidak menyangka Pak Ramon bisa semelankolis itu.

Seolah mendengar permintaanku, Pak Ramon melanjutkan ceritanya. Dulu, katanya, Bu Siska sangat bahagia hidup berdampingan dengan Pak Ramon. Di dua tahun pertama pernikahannya, mereka langsung dikaruniai seorang anak laki-laki. Dia tampan seperti Pak Ramon, dan bertubuh menawan mewarisi tubuh Bu Siska.

Kehadiran Riki, anak laki-laki mereka, membuat keduanya seperti lupa segalanya. Kata Pak Ramon, dia tidak membutuhkan surga lagi. Pun begitu juga dengan Bu Siska. Karena surga sudah ada di wajah anaknya.

Akan tetapi, saat Riki berusia tujuh tahun, badai itu datang. Dan Pak Ramon beserta istrinya lupa menyiapkan pelindung. Badai itu adalah rayuan maut dari para lelaki yang dulunya sangat mengharapkan tidur dengan Bu Siska.

Dari waktu ke waktu, keberadaan Bu Siska di sisi Pak Ramon terus digoyang. Situasi itu didukung oleh usaha Pak Ramon yang mendekati titik nadir. Sebentar lagi gulung tikar.

Dulu, sebelum melamar Bu Siska, selain memilik wajah yang tampan Pak Ramon juga sedang merintis usaha pengolahan kayu. Dua faktor itu menjadi nilai lebih bagi orang tua Bu Siska untuk menerima pinangannya.

Pak Ramon menyeruput kopinya sebentar. Kemudian kembali bekisah.

Namun saat Riki lahir, Pak Ramon terlena. Usaha pengolahan kayunya layu. Kekayaan yang dimilikinya hampir menghilang.

Dan puncaknya, pada suatu malam yang senyap dengan rintik hujan yang terus turun, Pak Ramon melihat istrinya sedang mendesah hebat. Ada seorang lelaki tampak berkeringat sedang duduk di bawah perutnya. Dua mata Pak Ramon ingin melompat keluar. Jantungnya terasa ingin berhenti. Pak Ramon seperti terhuyung. Dia tampak akan rubuh. Akan tetapi, dia tidak ingin kalah. Itu tekadnya.

Pak Ramon berusaha untuk menjaga keseimbangan aliran darahnya. Dia harus bertahan. Dengan perasaan yang komplet, Pak Ramon mendatangi Bu Siska yang sedang orgasme.

Melihat kedatangan Pak Ramon, laki-laki itu melompat dan ingin segera kabur. Sementara Bu Siska menarik selimut untuk menutupi kemaluannya yang terlanjur basah.

Pak Ramon sungguh laki-laki yang tabah dan bijaksana. Dia tidak melampiaskan amarahnya kepada dua iblis di depannya itu. Keduanya bahkan dibiarkan untuk berpakaian lagi. Setelah itu, Pak Ramon mengajak mereka berbicara di tempat yang layak.

Dengan wajah yang serba ketakutan, Bu Siska dan selingkuhannya mengekor di belakang Pak Ramon. Kemudian ketiganya duduk berhadapan. Dan tanpa panjang bicara lagi, Pak Ramon menalak Bu Siska saat itu juga. Pak Ramon mengatakan kepada Bu Siska, jika dia memaafkan perbuatannya. Ketika Bu Siska bertanya tentang keputusannya menalak, Pak Ramon hanya menjawab bahwa: “sisa pengolahan kayu hanya bisa dibuat bahan bakar. Bu Siska terbengong. Dia kurang paham dengan jawaban Pak Ramon.

Semua sudah selesai. Malam itu juga, Pak Ramon meninggalkan rumah tanpa membawa bekal apa pun. Dia hanya membawa baju yang dipakai saat itu. Rumah dan seisinya dia tinggalkan begitu saja. Katanya, itu hadiah untuk dua iblis yang telah berbuat buruk di rumahnya.

Aku terdiam. Lalu menghela napas panjang. Namun di akhir cerita ini, Pak Ramon tampak bangga. Kebanggannya melebihi saat dia berhasil meminang sang primadona desa itu. Aku tidak bertanya lagi. Aku biarkan Pak Ramon bermain-main dengan ceritanya. Curcol yang dramatis.

Aku sudah tidak menunduk lagi. Pandanganku sekarang lurus ke depan. Aku tersenyum lega. Pak Ramon sedang menutup kios londrenya.

Belalang Tempur sudah siap meluncur. Mesinnya sudah meraung-raung galak. Dia memberi isyarat padaku untuk segera naik. Aku membaca sigap isyaratnya.

Aku memutar gas, Belalang Tempur melaju dahsyat. Karpet hitam memanjang dilewatinya dengan penuh semangat. Namun tiba-tiba lajunya memelan. Jalanan menjadi padat. Pagi itu, banyak mobil parkir memanjang di sepanjang jalan menuju kampus.

Aku sempat menggerutu, tapi gerutuanku berganti senyum yang merekah. Pepatah itu memang benar. Selalu ada kemudahan di balik kesusahan. Karena Belalang Tempur jalannya sangat pelan, maka dua mataku bisa mengawasi dengan leluasa para mahasiswa baru yang sedang semangat-semangatnya pergi ke kampus.

Mereka begitu beragam. Ada yang berkerudung ada yang tidak. Ada yang memakai celana panjang ada yang memakai rok mini. Semuanya menjadi sajian gartis pagi itu.

Momen itu begitu menggoda mata. Sebagai laki-laki yang memiliki kewajaran dalam ketertarikan terhadap lawan jenis, aku pasang mataku baik-baik. Terutama, untuk bokong yang terbalut legging. Bokong itu begitu menyembul mencolok mata. Indah. Tapi apa daya, tangan tak pernah sampai merengkuhnya. Aku tertawa sendiri. Karena aku menyadari, aku begitu kurang ajar terhadap ciptaan Tuhan yang satu itu.

Belalang Tempur juga merasa bahagia pagi itu. Dua matanya juga tak berhenti menghitung bokong yang berseliweran di depan kami. Uh, rezeki min haisu la yahtasib.

Hampir sepuluh menit terlewat, gerbang kampus Universitas Negeri Malang berdiri kukuh menghias mata. Dari kejahuan, mahasiswa terlihat seperti semut yang pulang ke rumah. Mereka merayap. Mereka berdesakan.

Belalang Tempur berhenti lagi saat berada di pos pemeriksaan STNK. Untuk masuk, aku harus mengambil nomor dan menyerahkan lima ratus perak. Nomor itu tidak boleh hilang. Karena nomor itu akan diminta saat meninggalkan kampus. Aturan yang heroik sekali menurutku.

Aku melirik jam digital di ponsel. Angka di layar masih jam delapan kurang lima belas menit. Sisa waktu yang masih cukup aman bagi manusia kaslan, begitu kata dosenku di kelas dulu. Dan aku juga ingat, saat mengatakan itu dua mata beliau mengarah tepat ke wajahku. Ah, dulu aku suka menjadi culun.

Aku memelankan laju Belalang Tempur. Aku ingin menikmati tiap jengkal keindahan yang ditawarkan kampus yang telah mengeramiku hampir lima tahun itu. Banyak taman dan gazebo yang berdiri kukuh di tengahnya. Di atas gazebo, banyak mahasiswa yang bercengkerama. Biasanya mereka terdiri dari empat sampai lima mahasiswa. Namun jika hanya ada dua mahasiswa-mahasiswi, mereka bukan lagi bercengkerama tapi saling mencengkeram. Itu kata Jo. Dan celakanya, aku tidak mengerti maksudnya.

Aku berada tepat di depan gedung Pascasarjana. Aku menyelidik dengan cepat. Pemandangan yang kudapati masih sama. Pemandangan itu adalah mahasiswa dan mahasiswi yang sudah tidak muda lagi. Sebagian dari mereka berkacamata. Ada yang benar-benar dibutuhkan mata, dan ada yang hanya dibutuhkan hati. Menurutku, kacamata bagi mahasiswa Pascasarjana adalah sebuah keniscayaan. Semoga bukan simpulan yang bodoh.

Gedung yang berisi mahasiswa lanjut usia itu sudah kupamiti. Sekarang, Belalang Tempur tepat berada di depan sebuah masjid kampus. Namanya masjid Al-Hikmah. Aku melirik sebentar. Aku melihat banyak orang berkerumun empat sampai lima orang. Kata temanku, itu namanya mentoring. Pemandangan yang membosankan.

Aku melaju lagi dengan sangat pelan. Karena parkir kampus untuk Sastra, fakultasku, berada di baratnya masjid tersebut. Letaknya hanya berjarak sepuluh meter. Dan gedung fakultasku berada di baratnya parkiran. Sebuah urutan yang magis. Namun kata Sunoto, teman satu angkatan yang kini celananya menjadi cingkrang, itu urutan yang biasa saja. Ah, Sunoto. Bagiku, dia kurang menikmati setiap kejadian yang ada di semesta. Karena baginya, tubuh dan seluruh perabotnya untuk memikirkan Tuhan. Lucu sekali dia.

Aku segera menempatkan Belalang Tempur di tempat yang paling layak. Di atasnya pohon besar meneduhinya. Bisa kupastikan, saat pulang dari kampus Belalang Tempur akan mempunyai semangat baru.

Aku membelainya sejenak sebagai simbol pamitku meninggalkannya sebentar. Dua matanya mengerling semangat. Pesannya: “Jangan lupa melintasi kelas Sastra Jerman”. Aku mengangguk. Sejak dulu, Belalang Tempur memang selalu tahu apa yang terpikir di kepalaku.

Aku berjalan santai. Kulirik lagi layar ponselku. Masih jam delapan kurang lima menit. Aku menghela napas lega lagi. Karena aku masih bisa berjalan pelan sambil menelusuri keramaian Maba yang sedang bingung menunggu PA-nya untuk minta tanda tangan. Jangan menyerah! Seruku pada mereka dalam hati.

Aku masuk gedung E-7. Di dalamnya ada kantor dosen semua jurusan fakultas Sastra. Di fakultasku, ada beragam jurusan yang menggoda iman. Mulai Sastra Arab, Jerman, Inggris, Indonesia, sampai Seni Rupa ada di sana.

Kantor dosen jurusanku terletak di sebelah kanan pintu masuk gedung yang ada di selatan. Aku langsung menuju ke sana. Pintunya menutup. Aku berjinjit untuk mengintip ke dalam. Tapi ternyata kosong. Dosen-dosen tidak ada di sana. Termasuk Pak Hanafi pembimbing skripsiku. Aku memutar badan dan segera meninggalkan kantor kosong itu. Dan opsi keduanya adalah kantor JSA atau kepanjangannya adalah Jurusan Sastra Arab.

Di kantor itu, Kajur dan Sekjur selalu ada di sana. Dua orang inilah yang –kata temanku- sing bahurekso Sastra Arab. Karena semua urusan akademik JSA, harus ada coretan tinta kedua orang tersebut.

Selain Kajur dan Sekjur, biasanya ada dosen lain yang di sana. Mereka inilah dosen-dosen kesepian. Karena di kantornya sendiri tidak ada teman dosen lain. Di kantor JSA tersebut, dosen-dosen kesepian ini akan berbincang dengan Kajur, dan kadang-kadang juga dengan Sekjur.

Dosen-dosen kesepian ini juga menjadi pengamat tetap bagi mahasiswa yang mempuyai urusan akademik, konsultasi skripsi, dan mahasiswa mengajukan proposal kegiatan. Komplet.

Aku sudah berdiri tapat di depan pintu kantor JSA. Aku mendengar sedikit riuh dari dalamnya. Aku tersenyum lega. Karena aku yakin, Pak Hanafi menjadi bagian dari keriuhan itu. Aku mengetuknya dengan semangat yang utuh. Dengan sebelumya kurapikan rambut dan kerah bajuku. Pagi itu, aku merasa sangat ganteng.

Setelah ada perintah dari dalam, aku membuka pintu yang menutup rapat. Aku segera mengedarkan pandangan ke semua sudutnya. Kemudian aku membuka suara,

Assalamualaikum. Afwan, Ustaz Hanafi maujud?” sapaku pada mereka. Kajur menoleh padaku. Begitu juga dengan Sekjur. Tatapan mata dua pejabat ini sangat teduh dan berwibawa. Aku dibuat segan dan sungkan. Aku juga menjadi sedikit gerogi.

Waalaikum salam. Ustaz Hanafi maa fiih,” jawab Ustazah Jihan mewakili. Sedangkan Kajur dan Sekjur hanya mengangguk. Aku sedikit kecewa. Padahal, kami sudah janjian.

Afwan. Hal ta’rifin aina Ustaz?” tanyaku lagi.

Afwan. Maaroftu,” jawab Ustazah Jihan lagi sambil menggelengkan kepala. Mendengar jawabannya yang pasrah, prosentasi kecewaku meningkat drastis. Aku harus segera pamit. Karena jika berlama-lama di kantor itu, aku akan menjadi bahan intorgrasi mereka.

Naam. Syukron. Wassalamualaikum,” pamitku sambil memutar badan.

Waalaikumussalam,” jawab mereka kompak.

Aku langsung turun ke lantai satu. Aku menggerutu. Aku kecewa. Tapi tidak ada yang mendengar. Akhirnya, aku menjadi tertawa sendiri.

Aku melirik layar ponselku lagi. Angkanya masih menunjukkan delapan lebih lima belas menit. Jika aku pulang sepagi itu, maka Jo akan mengolok-olokku dengan mengatakan jika Pak Hanafi enggan sekali menjumpai manusia busung lapar sepertiku.

Aku harus memutar otak. Aku buka dompetku. Di sana masih ada beberapa lembar rupiah. Jatah makanku dan makan Belalang Tempur masih ada. Tapi sepagi itu, bukan waktu yang asik untuk sarapan. Karena akan membuat perutku mulas dan sebah. Aneh.

Karena alasan itu, membeli beberapa batang rokok adalah pilihan yang sangat cerdas.

Aku bergegas menuju jalan utaranya fakultas Sastra. Di sana ada kafe khusus mahaiswa. Namanya kafe Jangkar. Kafenya sempit. Mahasiswa pengunjung sering kali duduk di luar kafe.

Pemiliknya adalah orang Arodam. Aku belum terlalu akrab dengan mereka. Tapi hampir semua teman satu angkatanku akrab dengan mereka. Aku sering bertanya kepada mereka, kenapa aku paling tidak akrab dengan pemilik kafe itu? Mereka menjawab: “Karena dompetmu banyak lubangnya.” Aku terbahak mendengar jawaban itu. Mereka memang teman yang sangat menyenangkan. Pepatah bilang: Kullil haqqo walau kaana murron!

Aku bergegas berjalan menuju ke kafe Jangkar. Dulu, saat kali pertama berkunjung ke kafe Jangkar, aku sering berpikir kenapa kafe sempit itu dinamai “Jangkar”. Terlintas dalam otakku bahwa sesuatu yang paling dekat dengan jangkar adalah kapal laut yang besar nan gagah itu. Jangkar digunakan oleh kapal besar tersebut untuk parkir di pelabuhan.

Namun, dilihat dari segi bentuknya kafe Jangkar sama sekali tidak menyerupai kapal. Malah menurutku, bangunannya dimodel seperi kubus; yang sisi-sisinya sama panjang. Lalu kenapa harus “Jangkar”?

Mendengar kegundahanku atas nama kafe itu, Rojal –temanku yang berasal dari Surabaya- berceletuk: “Yo sakarepe sing nduwe kafe to, Sam!”. Aku manyun. Namun, Kahar –temanku asal Blitar- menyusul jawaban Rojal. Dia mengatakan bahwa mungkin pemilik kafe itu menyamakan jangkar dengan berhentinya rezeki. Jadi, semua pembeli yang datang ke kafe itu adalah korban dari jangkar tersebut. Rasa-rasanya, semua orang yang melewati sekitar area kafe merasa seperti terhenti, dan pada akhirnya parkir di dalam kafe itu.

Penjelasan Kahar tersebut sebenarnya sangat menggoda pikiranku untuk setuju dengannya. Akan tetapi, teman-teman satu kelas terlanjur menganggap Kahar manusia klenik, suka mengada-ada cerita.

Aku masuk ke kafe itu dan segera menuju etalase yang di atasnya ada kotak kaca yang di dalamnya ada berbagai macam merk rokok. Aku membeli dua batang. Aku bukan perokok aktif yang rela ‘kere’ asal bisa merokok. Bagiku, rokok hanya pengalih perhatian pikiran suntuk. Itu saja tidak lebih.

Setelah membayar dua batang rokok yang kuambil, aku segera keluar dari kapal imajinasi itu. Aku meninggalkan ingar-bingar manusia-manusia korban jangkar versi Kahar. Aku kembali ke gedung fakultas lantai satu dan terus menuju portal yang terletak di antara gedung fakultas dan gedung perkuliahan. Karena jam setengah sembilan adalah waktu hijrah mahasiswa Sastra Jerman dari gedung E-6 menuju gedung H yang letaknya di timurnya fakulstas Teknik. Jadi, duduk di portal dengan menikmati rokok adalah ajaib sekali. Selain bisa mengusir geram karena gagal konsultasi, aku juga bisa melihat mereka pasang aksi di depanku.

Aku menyulut rokokku dengan gaya konvensional. Ujung rokok menyala, lalu aku mengisapnya dan mengembuskan asapanya ke udara membentuk lingkaran. Saat itu, aku merasa mirip koboi yang mengisap cerutu terlebih dahulu sebelum mereka beradu tangkas menembak. Uh, seksi sekali.

Jarak jalan utama yang akan mereka lewati dengan portal yang kududuki tidak lebih dari lima meter. Otomatis, jarak pandangku sangat meyakinkan. Bisa kupastikan, semua yang melewati jalan utama tersebut akan tercetak jelas di dua bola mataku. Aku mengisap rokokku lagi. Tapi asapnya tidak bulat lagi.

Aku mengisap dan mengisap lagi. Batang rokokku sudah tandas separuh. Tapi yang kutunggu belum juga terlihat. Aku menunggu lagi. Mudah-mudahan tidak lama lagi.

Satu rokok berhasil kuhabisi. Aku segera menyambung dengan rokok keduaku. Aku menyulutnya dengan cepat. Rokok menyala dan isapan pertamaku bentuk lingkaran lagi.

Tapi saat aku mau mengisap lagi, dua mataku tertawan oleh lima mahasiswi berkerudung dengan bajunya yang panjang terusan. Bukan jeans atau rok potongan. Segera kusimpulkan itu adalah mahasiswi jurusan Sastra Arab.

Aku teringat saat aku dan Kahar ngerasani beberapa teman kami yang mahasiswi. Kata Kahar, kelas kami mirip sekali dengan pesantren. Tidak seperti kelas-kelas pada jurusan lain. Kahar melanjutkan, tidak ada satu pun kelas perempuan kami yang berani berbusana seperti mahasiswi-mahasiswi jurusan lain. Terutama jurusan Sastra Jerman atau sastra Inggris.

Karena tampilan yang seragam itu, mahasiswi jurusan Sastra Arab mudah sekali dikenali. Sehingga dalam mindset kami tercetak kalimat bahwa kerudung dan baju panjang adalah mahasiswa jurusan Sastra Arab. Tapi harapku, semoga itu hanya lelucon Kahar saat dia mabuk Nahwu dan Shorof.

Lima mahasiswi berkerudung itu berjalan dengan ceria. Senyum kecil nan indah mengiringi langkahnya. Akan tetapi, saat hendak melintas di depanku tiba-tiba mereka padam, sunyi, dan lengang. Senyum itu kabur bersama sepoi pagi.

Aku tidak kaget dengan situasi seperti itu. Karena hampir semua mahasiswi Sastra Arab sangat dingin dengan orang yang tidak mereka kenali.

Tapi tiba-tiba,

“Tunggu ...,” teriak seorang mahasiswi, yang juga berkerudung. Dua alisku membuat gerakan. Bibir hatiku berkalimat: “Bajunya tidak sama.

Mahasiswi itu berjalan agak cepat mengejar lima mahaiswi yang baru saja melintas di depanku. Dua mataku enggan sekali berpaling darinya.

Tapi tiba-tiba juga, aku melompat. Karena rokok yang baru kunyalakan jatuh tepat di pahaku. Aku tidak sadar, jepitan jariku seperi melonggar. Dan aku tahu, mahasiswi yang berlari itu penyebabnya. Itu sudah pasti.

Aku menangkap semuanya. senyumnya. Gerak kakinya. Bahkan gigi-giginya yang dirapatkan oleh behel. Kelihatannya itu behel mahal. Semoga.

Ia penjaring ikan. Aku yakin. Bukan hanya itu. Dia juga seorang paranormal kelas televisi. Aku korban hipnotis itu. Dia tidak menoleh. Tapi aku sudah mendapatkannya. Rekam wajah ayunya.

Aku mengela napas kagum. Hari itu, keberuntunganku tidak bisa diganggu gugat. Seperti kerak-kerak pematang sawah yang tertembus hujan. Dingin dan segar.

Aku masih tersenyum mensyukuri anugerah pagi itu. Namun, tiba-tiba aku juga murung. Sebab aku takut, dia hanya sekali kulihat. Setelahnya, aku hanya akan menanggung simpul-simpul mimpi tentang ayunan tangannya yang periodik. Berirama. Jangan-jangan, aku tidak mengharapkan itu.

Aku masih di portal. Rokok sudah kubinasakan. Rasanya jadi hambar. Sebab kecantikanmu, mahasisiwi berbehel itu, telah menghanyutkan segalanya. Aku tak berkutik. Lalu aku berjanji: aku akan melihatmu lagi.

Udara kian mesra. Embusannya meniupkan ruh semangat dalam nadi tubuhku. Namun dia, tak sekadar penyemangat. Aku tahu, banyak mata malang menghaturkan mantra untuknya. Memujanya. Merindukan bayangnya. Semua berharap bisa berbincang sepatah dua patah kata dengannya.

Aku terjeda. Sekitar lima menit lamanya. Bibir ini tak berhenti tersenyum. Dua mata ini tak berhenti berucap syukur. Sementara dia telah ditelan jarak. Dia tidak ada lagi.

Aku tarik napasku dalam-dalam. Sebab aku ingin mendefinisikan tentangnya. Begini kira-kira.

Dia bermata almond. Jika dia menangis, maka kegersangan akan sejuk. Sebab tetesan itu adalah mukjizat. Pipinya putih. Ada garis kecantikan di sana. Saat cahaya matahari berselancar di permukaannya, pipinya kemerah-merahan. Namun itu warna pink. Atau mungkin juga megenta. Yang pasti, aku ternganga dibuatnya.

Kerudungnya modis, kataku. Bukan besar bersayap, atau utuh seperti burka. Pasti mata-mata malang akan semakin bergumam. Tentu tabungan kerinduan itu juga akan semakin penuh. Aku kagum.

Pernah suatu ketika Jo berceletuk. Katanya burka itu simbol ketidakadilan. Aku tidak menyela. Aku diam. Khidmad. Jo bersemangat. Dia melanjutkan, coba bayangkan! Aku mengangguk. Wanita pemakai burka hanya kelihatan bola matanya –yang sepertinya- sangat mengancam. Tidak adilnya?, tanyaku. Ya jelas! Wanita pemakai burka akan menikmati wajah kita secara utuh. Bahkan, dia bisa membedakan mana wajah penuh jerawat dan wajah mulus. Sementara kita? Hanya bisa mendelik. Menjulurkan kepala seraya menajamkan dua mata kita. Dan, hasilnya? Hanya bola matanya yang kita dapat. Itu pun jika tidak berkacamata. Aku terhenyak. Otak miskin Jo juga bisa membuat humor.

Tampaknya dia memang beda. Wajahnya oval. Hidungnya -jelas- mancung. Gigi-giginya sensual. Dia tahu betul, jika behel membuatnya semakin dirindui. Dia sempat sedikit tersenyum. Indah. Menghanyutkan. Seketika, kepalaku penuh imajinasi.

Dia beda. Sekali lagi; dia beda! Dia mengenakan baju yang bukan seperti yang mereka pakai. Bukan terusan. Atau semacam jubah; yang aku tebak pasti menimbulkan banyak keringat. Namun bajunya kemeja berwarna hijau samar. Kenapa bisa samar? Sebab, tidak hijau. Juga bukan tidak selain hijau. Entah. Itu warnanya apa. Jika kupadankan, maka hijaunya tampak semburat. Warna yang menggoda mata.

Sedangkan untuk bawahan, dia mengenakan jeans. Pakaian –yang sepertinya- haram dikenakan oleh mahasiswi jurusanku. Aturan itu tidak tertulis. Tapi itu kesepakatan maya yang dibikin berama-ramai dan dilaksanakan ramai-ramai. Namun dia tidak. Dia mempunyai arus sendiri. Jalan sendiri. Aturan sendiri.

Lalu tiba-tiba aku berpikir keras. Dia mahasiswi jurusanku? Tentu tidak. Kenapa? Karena dia beda. Beda kenapa? Karena dia cantik. Jurusanmu tidak ada yang cantik? Ada. Lalu? Sebab dia beda. Itu saja.

Dia telah berlalu. Tapi hanya jasadnya. Ruh genapnya masih memandangiku dengan teduh. Di palung hatiku. Di langit-langit otakku. Di celah mataku. Di antara aliran darahku. Aku seperti tertambat. Tapi pada apa? Jatuh cinta dengan sekilas bayang? Tidak mungkin. Meski utuh? Belum tentu juga.

Aku bahagia tak terhingga. Pak Hanafi bukan lagi perkara yang musti lalu-lalang dalam kecemasanku. Biarlah aku menua di kampus itu. Sebab aku punya sekilas bayangan itu. Bayangan yang menguatkan.

Puji Tuhan. Memberiku anugerah yang tak hanya berharga.

Aku membungkusnya dengan senyum. Aku berdiri. Memutar badan. Portal itu adalah persembahan bagiku yang geram dan kecewa. Terima kasih!

Aku berjalan menuju peraduan Belalang Tempur. Aku yakin, dia sudah ingin bertemu denganku. Langkahku cepat. Kerena semangat. Senyumnya tak bisa kuhentikan. Aku mencintai bayang itu? Kali ini aku tak menjawab.

 Aku sudah masuk area parkir. Ponselku menjerit kencang. Sebuah pesan singkat masuk. Dari Jo. Dia menungguku di depan kampus. Di sebuah warung kopi. Lokasinya bersebelahan dengan SMK. Kata Jo lagi, penghuni sekolahan itu sedang pulang pagi. Aku tidak membalasnya. Sebab aku tahu arti gelagatnya itu.

Belalang Tempur sudah menyala. Uang sewa berteduh juga sudah kubayar. Aku melaju. Aku memenuhi undangan karibku itu.

Hanya lima menit. Belalang Tempur sudah berdiri gagah di depan warung kopi. Jo melempar senyum. Dia bersama tiga temannya. Adi, Nuril dan Hanna. Ketiganya cowok dan aku mengenalnya dengan baik. Mereka menyapaku,

Sam ...”

Aku mengangguk. Dan segera mengambil duduk.

“Mana pesananku, Jo?” tanyaku pada Johan. Dia menggeleng.

“Belum pesan!”

Keat!” Aku berseru. Lalu berdiri. Johan terbahak. Dia mengumpat,

Udelmu kero!

Aku sudah memesan. Aku duduk bersama mereka lagi.

“Sebentar lagi,” bisik Jo di telingaku, “percaya sama aku!”

Itu hobinya. Mendeteksi area dalam siswi SMK. Setelah itu main tebak-tebakan. Pagi itu, aku dipaksa ikut. Payah. Karena aku menurut.

Benar saja. Hanya lima menit menunggu. Siswa-siswi SMK mulai tumpah. Seperti laron yang keluar sarangnya. Jo pasang mata. Aku juga. Tidak terlewat, Adi, Nuril dan Hanna juga. Untuk siswa silakan minggir. Sebab mata kami khusus untuk siswi.

Mereka –para siswi- mulai berjalan bergerombol. Tiga, empat sampai lima. Jo merinding. Sebab dia mendapati seorang siswi yang berkutang merah. Mecolok. Tanpa pelapis. Kata Jo, kutangnya sengaja dibuat mini. Biar isinya tampak menantang.

Ada lagi. Dua orang siswi berjalan beriringan. Melintasi wilayah kami. Mereka terbahak. Sehingga dadanya naik turun. Kutangnya putih. Juga tanpa pelapis. Sedang satunya, hanya mengenakan mini set. Edan. Sepertinya ini sebuah kesengajaan. Puting yang menantang adalah obsesinya.

Berikutnya. Ada tiga siswi. Mereka juga melintasi wilayah kami. Mereka cantik-cantik. Putih bersih wajahnya. Jo tampaknya tertarik dengan mereka.

Yang pertama, kutangnya tidak terlihat warnanya. Karena ada lapisan terluarnya. Tapi bentuknya menonjol sekali. Menantang. Putingnya juga tampak ingin melompat. Jo menelan ludah.

Kedua, juga masih sama. Kutang juga tidak terlihat. Tapi dadanya agak ceper. Kata Jo, dia telat tumbuh. Kami terbahak seperti setan. Mereka tidak peduli.

Ketiga paling sensual. Sebab ia tanpa kutang. Hanya miniset warna pink yang menjadi tempat persembunyian daging kenyal itu. Saatnya berfantasi.

“Sekali kulum, pasti meloncat. Keterlaluan. Sudah SMK tidak pakai kutang,” Jo berceloteh.

“Itu yang kamu mau, kan?” sahutku.

“Itu maunya mereka!”

Itu maunya mereka? Benar. Juga bisa tidak benar. Kutang dan payudara memang milik mereka. Tapi mata milik siapa? Penis yang ereksi milik siapa? Otak imajinatif milik siapa? Bodoh. Itu bukan pertanyaan. Sebab, mana ada nafsu menjawab pertanyaan.

Jo benar. Jo juga salah. Kenapa? Karena liar. Itu mutualisme?

Tidak akan berhenti sebelum Jo dan tiga temannya pergi untuk mastrubasi. Tidak berhenti juga jika belum tiga kali mastrubasi. Atau setidaknya penisnya sudah tidak menyodok celana dalamnya. Pantas aja Jo kurus. Itu batinku. Aku? Maaf, rahasia!

Aku merenung sejenak.

Siapa yang salah?

Peringatan saja. Orang tua harus waspada. Buktinya, Jo tidak membuat rekaan bagi mereka yang menutup auratnya dengan utuh. Terutama yang berkerudung.

Aku segera menyalakan Belalang Tempur. Itu warung langganan kami. Aku dan Jo.

“Dibayar Johan.

Aku kabur. Meski celanaku agak menonjol.

Waktu sudah hampir jam sepuluh. Sudah waktunya sarapan. Rencanaku berikutnya adalah segera sampai di kos. Kemudian menidurkan Belalang Tempur. Setelah itu makan.

Aku sudah berada di depan gang yang menjadi jalan utama menuju kosku. Dan juga kios loundrenya Pak Ramon. Ah, aku senang. Merasa lega. Karena kios Pak Ramon tutup.

Aku turun dari Belalang Tempur. Kemudian menuntunnya masuk gang. Pelan. Rumah ketujuh dari mulut gang adalah kios Pak Ramon. Namun aku tidak peduli.

Aku berjalan dengan santai. Kios Pak Ramon sudah terlihat. Benar! Masih tutup. Aku berjalan terus. Namun sebuah tangan hinggap di bahu kananku. Aku menoleh. Pak Ramon menampilkan wajah murung. Tepat di depanku.

“Baru pulang?” sapanya.

“Iya, Pak.” Aku mengangguk.

“Repot?” tanyanya.

“Tidak! Jawabku spontan.

Bodoh! Bodoh! Aku memang bodoh. Harusnya aku berbohong. Harusnya aku bilang banyak pekerjaan dan tidak bisa diganggu. Harusnya juga aku bilang temanku sudah menunggu di kamar. Tapi bibirku kelu saat itu. Wajah murungnya mempunyai kekuatan gaib. Aku yakin sekali.

Pak Ramon tidak tersenyum. Dia hanya mengajakku masuk ke kiosnya. Aku menurut.

Dia menyuruhku duduk. Dia juga duduk. Tepat di depanku.

“Saya bingung dengan diri saya,” tiba-tiba saja dia membuka suara.

Apa urusanku? Apa peduliku?

“Hm. Pak Ramon sedang ingat anak istri?” tanyaku agak ragu. Dia bereaksi. Sepertinya itu pertanyaan yang dia harapkan.

“Benar. Bagaimana kalau aku mati nanti? Lalu kuburku gelap. Jika mereka tidak ingat aku lagi, bagaimana mereka berkenan berdoa untukku?”

Aku iba sebenarnya. Namun aku harus bagaimana? Mendiamkannya? Dengan cara seperti apa?

“Mereka tahu Bapak ada di sini? Di kota ini?”

“Tidak tahu!”

“Anak Bapak?”

“Dia menjadi mayat. Karena ibunya!” serunya geram. Aku menjadi serba salah.

Tiba-tiba dia menangis. Bukan. Bukan menangis. Dia hanya meneteskan bulir air mata. Kata “mayat” dia ulang lagi. Pak Ramon bukan pendendam. Dia hanya geram dengan takdir. Dengan garis hidupnya.

Dia bersuara lagi,

“Andai Tuhan itu adil ...”

Aku tergagap. Aku tidak percaya Sang Maha Adil menjadi tidak adil di hadapan Bapak sial itu. Aku seperti tertelan pusaran.

Aku ingin kabur. Namun tidak mungkin. Dia pasti melarangku. Sebab Pak Ramon tidak terlihat akrab dengan siapa pun. Hanya aku tumpahan kegeramannya. Tapi aku jadi sakit hati. Tapi Tuhan tidak.

“Tuhan itu bukan saja adil, Pak. Tapi Dia Maha Adil.

“Bagaimana dengan takdirku? Istriku ditindih orang lain. Tuhan bungkam. Diam. Mungkin juga memang terdiam,” jelasnya geram.

“Jika bagiku, takdir tidak datang sembarangan. Tiap akibat pasti mempunyai sebab. Dan tentang takdir Bapak, Bapak-lah yang lebih tahu.

Bodoh. Aku bodoh lagi. Kenapa aku harus menanggapinya. Bukankah perutku sudah menangis. Jam sudah terlewat siang.

Berikutnya, aku hanya mencari cara untuk kabur darinya.

Pak Ramon tampak merenung. Kalimatku dia cerna. Aku memandanginya tepat di keningnya. Harapku, Pak Ramon pamit untuk tidur. Mudah-mudahan.

“Bapak mau mati? Tahu Bapak kapan mati?” tanyaku berikutnya.

Sial. Aku memang sial. Kenapa aku memulai perbincangan lagi.

“Iya. Aku ingin mati. Besok aku mati,” jawabnya putus asa.

“Bagaimana dengan dua pegawai Bapak? Mereka makan apa? Uang dari mana. Bahkan yang satu sudah punya anak satu. Itu tanggung jawab, Bapak!”

“Jika mati semua lunas. Putus kontrak.”

“Bagaimana Bapak akan mati?”

“Tapi aku takut kuburku gelap. Tidak ada doa melayang di atap kuburku. Bagaimana jika aku kelaparan? Apa ada makanan? Bagaimana jika aku sakit kepala? Apa ada kopi?”

Aku terhenyak lagi. Pak Ramon membuat teka-teki. Aku terdiam. Terjeda oleh keputusasaannya. Pak Ramon putus asa. Tuhan tidak suka itu. Aku tahu. Kata-Nya: Laa taiasu fii rauhillah.

Namun apa Pak Ramon tahu ayat itu. Sebab dia buta aksara. Tapi telinganya mendengar. Iya, memang. Dia bisa mendengar. Dia mendengar banyak cerita atau hikayat. Tapi dia melewatkan ayat itu. Tidak harus sama. Isinya saja yang sama. Bukankah Simbok selalu berbicara: “Ojo nyerah karo kahanan.

“Tiap kejadian pasti ada hikmah. Tentu, lebih parah dari Bapak masih banyak.

Dia yang terhenyak. Aku menunggu jawabnya.

Dia tampak menerawang. Jauh. Ke tempat yang jauh. Barangkali memang tidak tergambarkan.

“Aku tetap ingin mati. Karena dengan mati aku jadi berarti. Namun aku takut kuburku akan selalu gelap. Sempit. Pengap.Dia menangis sungguhan ketika itu.

Pak Ramon tidak seperti yang dulu. Itu tajuknya siang itu. Waktu yang merambat hampir jam sebelas siang. Perutku tidak hanya menangis. Tapi juga merintih. Aku lapar, Pak. Aku lapar.

Dia berseru,

“Bagaimana dengan laparku?”

Apa peduliku? Jika peduli, apa yang bisa kuperbuat. Nyatanya Anda sudah menyerah!

“Bapak belum makan?”

“Aku lapar akan kematian. Lihat, bagaimana Tuhan membenciku. Umurku sudah genap tujuh puluh tahun. Jari-jariku sudah suka bergetar sendiri. Namun Ia tidak segera mengambilku. Aku ingin lahir kembali. Mungkin jadi nahkoda pesiar. Biar aku bisa tidur dengan banyak wanita.”

Anda gila. Anda sudah gila. Anda miring.

Yang baru kemarin lahir sudah mati tanpa dia meminta. Sementara aku?” katanya melanjutkan.

Aku ingin kabur. Tapi tidak bisa. Sebab, dia mengusikku.

“Jika Dia ingin Bapak mati. Pasti terjadi. Bapak sudah berapa pahalanya?”

Dia tercengang. Tubuhnya kaku. Bibirnya seperti terjahit.

“Aku hanya takut kuburku gelap, Nak!”

Dia memanggilku. “Nak ....” Syadu sekali. Dia menjadi lumpuh. Dia akan menganulir niatnya untuk mati.

“Jika masih bernapas, Tuhan masih menggenapkan ampunan-Nya.

“Bagaimana jika aku menuntut istriku? Apakah Tuhan akan memberiku istri yang sama. Aku selalu terbayang pijitannya. Pahanya mulus. Putih bersih.

Aku benar-benar kalah. Bukan kalah. Tapi sesungguhnya aku memang bodoh. Ini adalah minggu pertama. Sebab aku lupa. Dia selalu begitu di minggu itu.

Aku pamit. Dia tidak melihatku. Mulutnya komat-kamit. Pak Ramon berbicara sendiri. Dia tidak mempedulikanku yang berjalan berjinjit di depannya.

Naas. Pak Ramon tak kunjung sembuh. Kecelakaan tahun lalu teramat sadis. Tapi lebih sadis lagi adalah aku yang lupa. Jika itu adalah minggu pertama.

Sebab, Pak Ramon selalu membaca mantra.

Aku menuntun Belalang Tempur lagi. Sial dia tertawa mengejek. Dia melihat kebodohanku.

Aku sudah berada di depan kos. Belalang Tempur segera kumasukkan. Karena aku harus segera makan. Asam lambung sudah memberi isyarat.

Aku keluar kos lagi. Tujuanku adalah warung kuno yang tidak mirip warung. Rumah biasa. Hanya saja, di meja ruang tamunya ada bakul nasi dan beberapa panci yang berisi sayur. Murah meriah. Nambah nasi tidak bayar lagi. Sejak seminggu menjadi penghuni kos, aku sudah makan di warung itu.

Pemiliknya terkenal dengan nama “MJ”. Marry Jean? Tentu bukan. Tapi MJ-nya pemilik warung itu adalah “Mak Jah”; seorang janda yang tidak mempunyai anak. Karena itu, dia mengangkat anak. Dia ambil dari dari saudara jauhnya.

MJ adalah hadiah dari Bang Maskur dulu. Senior kos yang saat aku masuk, dia sudah berkemas akan pulang kampung karena sudah rampung studinya. Dia berasal dai Blitar. Di UM, dia mengambil jurusan Teknik Arsitektur. Dia pendiam. Matanya suka layu. Tapi hadiah itu sungguh membekas. Sebab aku yakin, tujuh turunan penghuni kosku akan memakai nama itu, MJ!

***

Menjelang sore. Sekitar pukul empat. Udara berembus manja. Sedikit dingin. Aku duduk di kursi beton. Aku ingin berkidung. Tentang kamu. Tentang semilir,

“Dua matamu tajam namun juga teduh. Kau berlari. Langkahmu indah. Memenjarakan mata. Belum lagi dagumu. Kau bayang. Iya, memang bayang. Tapi aku bergetar hingga sore ini. Sebab, kau melintas. Kau hadir. Dari mana. Ke mana. Adakah sejumput jawab?”

Hari terus merambat petang. Dingin tidak manja lagi. Tapi sekarang tampak jahat. Menusuk-nusuk.

Cakrawala tampak bersolek, sebab senja sebentar lagi datang berkunjung. Aku memandanginya sejenak. Aku bergetar lagi. Ada kamu. Ada gigimu yang rapat. Ada pipimu yang tampak merah, bukan merona. Tapi samar. Itu hakikat keindahan.

Aku menunggu besok. Karena Jo harus mendengarnya. Tentang dia – yang jauh di sana- bersama mata-mata malang yang selalu melantunkan doa.

 

 

 

 

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...