Sabtu, 09 Agustus 2025

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

 Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?





Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencari hobi yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga membawa ketenangan batin, menjadi sebuah kebutuhan. Bagi saya, hobi yang paling pas dan bermakna adalah mengikuti perlombaan burung lovebird. Bukan sekadar menyalurkan minat pada dunia burung, tetapi lebih dari itu, kegiatan ini telah mengubah cara saya bersosialisasi, berpikir, bahkan menjalani hidup. Saya memilih ikut perlombaan lovebird bukan tanpa alasan. Ada lima hal utama yang membuat saya merasa lebih baik, lebih tenang, dan lebih dekat dengan nilai-nilai kebaikan saat berada di arena lomba.

Pertama, saya benar-benar jatuh cinta dengan karakter burung lovebird. Nama “lovebird” atau “burung cinta” bukan tanpa makna. Burung ini dikenal setia, penuh kasih sayang, dan sangat sosial. Mereka selalu berpasangan, saling menjaga, dan tidak mudah terpisah. Melihat keseharian mereka—saling membersihkan bulu, berdekatan, bahkan berbagi makanan—mengingatkan saya pada nilai-nilai kesetiaan dan kasih sayang yang seharusnya dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia. Merawat lovebird mengajarkan saya kesabaran, perhatian, dan tanggung jawab. Dan saat mereka tampil di arena lomba, dengan suara kicauan (kekekan) yang nyaring dan gerakan yang lincah, saya merasa bangga seolah mereka adalah cerminan dari perjuangan dan kasih sayang yang saya curahkan.

Kedua, ikut perlombaan lovebird membantu saya menjauh dari kebiasaan buruk seperti gibah atau bergunjing. Di banyak lingkungan sosial, obrolan sering kali berubah menjadi ajang menyudutkan orang lain, membicarakan aib, atau sekadar mencari sensasi. Namun, di arena lomba lovebird, percakapan selalu berpusat pada perawatan burung, teknik pakan, strategi latihan, atau pengalaman pribadi dalam merawat lovebird. Tidak ada tempat untuk gosip atau fitnah. Semua orang datang dengan niat yang sama: menikmati hobi, belajar, dan saling menghargai. Suasana ini membuat saya merasa lebih bersih secara mental dan emosional. Saya tidak perlu khawatir terjebak dalam percakapan yang bisa merusak hati atau merendahkan martabat orang lain.

Ketiga, perlombaan lovebird justru mempererat persaudaraan. Di sini, saya bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang: petani, pegawai kantor, pengusaha, bahkan pensiunan. Meski berbeda profesi dan usia, kami disatukan oleh satu passion yang sama. Banyak cerita, tawa, dan bahkan air mata yang kami bagi bersama. Ketika burung saya kalah, ada yang menghibur. Saat burung teman menang, saya ikut bersukacita. Tidak ada iri, dengki, atau sikap sombong. Yang ada hanyalah saling mendukung dan saling belajar. Persaudaraan yang terbangun di arena lomba bukan sekadar pertemanan biasa, tapi ikatan yang tumbuh dari rasa hormat dan kecintaan terhadap hobi yang sama.

Keempat, mengikuti lomba lovebird membuat saya tidak sempat memikirkan hal-hal yang bisa merusak rumah tangga, seperti tergoda oleh perempuan lain. Ini bukan berarti saya tidak menghargai lawan jenis, tetapi sebagai suami dan ayah, saya merasa perlu menjaga hati dan pikiran agar tetap fokus pada keluarga. Waktu yang sebelumnya mungkin terbuang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, kini saya isi dengan merawat burung, menyiapkan pakan, membersihkan sangkar, atau berdiskusi dengan sesama pecinta lovebird. Aktivitas ini membuat saya sibuk dengan hal positif, sehingga pikiran tidak melayang ke arah yang bisa membahayakan keutuhan rumah tangga. Dalam konteks ini, hobi lovebird menjadi benteng moral yang tak terlihat namun sangat kuat.

Terakhir, hati saya menjadi lebih tenang karena jauh dari pamer ambisi. Di dunia sosial media dan kehidupan yang kompleks, begitu banyak orang yang sibuk memamerkan kesuksesan, gaya hidup, atau pencapaian. Tapi di arena lomba lovebird, meski ada hadiah dan trofi, yang paling utama adalah kecintaan terhadap burung dan kepuasan pribadi. Kemenangan tidak diukur hanya dari piala, tetapi dari seberapa baik burung berkicau, seberapa sehat ia tampil, dan seberapa besar kasih sayang yang telah kita berikan padanya. Tidak ada tekanan untuk terlihat hebat. Yang ada hanyalah ketenangan, kebersamaan, dan rasa syukur.

Dengan semua alasan ini, saya semakin yakin bahwa memilih ikut perlombaan burung lovebird bukan sekadar hobi, tapi sebuah jalan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, lovebird mengajarkan saya untuk kembali pada nilai-nilai sederhana: kesetiaan, persaudaraan, ketenangan, dan kejujuran hati. Dan bagi saya, itulah kemenangan sejati.

Mengapa -Kemarin- Saya Berhenti Menulis?

 Mengapa -Kemarin- Saya Berhenti Menulis?





Ada masa dalam hidup saya ketika menulis bukan sekadar hobi, tapi napas. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar bangun, tangan saya sudah menari di atas keyboard, mengalirkan pikiran, perasaan, dan imajinasi ke dalam rangkaian kata yang tak pernah habis. Saya percaya, menulis adalah jalan saya untuk memahami dunia, menyampaikan kebenaran, dan mungkin—walau hanya sedikit—mengubahnya. Namun, suatu hari, tiba-tiba saja, saya berhenti. Tidak dramatis, tidak dengan pengumuman, hanya sunyi. Layar kosong. Pikiran beku. Tangan yang enggan bergerak. Banyak yang bertanya, “Kenapa kamu berhenti menulis?” Jawabannya bukan satu kalimat sederhana. Ini adalah kisah tentang ambisi, kegagalan, penyerahan, dan akhirnya—pemulihan.

Awalnya, saya terlalu berani. Terlalu percaya diri. Tanpa pengalaman bisnis, tanpa pemahaman mendalam tentang manajemen keuangan, pemasaran, atau bahkan strategi —saya nekat. Saya pikir, karena saya bisa menulis dengan baik, maka saya juga bisa mengelola bisnis -yang- dalam pandangan saya ketika itu, bisa dipelajari melalui tulisan. Itu kesalahan besar. Terlebih, over dosis percaya dengan rekan bisnis yang -tetiba- saja menjelma Superman.

Lalu, bisnis itu runtuh. Bukan perlahan, tapi seperti gempa bumi yang menghancurkan segalanya dalam semalam. Utang menumpuk. Bank menagih. Saya harus membayar cicilan 30 juta rupiah setiap bulan selama beberapa tahun. Angka itu seperti bayangan yang tak pernah pergi. Setiap pagi, saya bangun dengan beban yang sama: “Hari ini, uang dari mana?” Menulis, yang dulu menjadi pelarian, kini terasa seperti kemewahan yang tak bisa saya nikmati. Bagaimana mungkin saya bisa merangkai kata indah ketika pikiran dipenuhi tagihan, rasa bersalah, dan keputusasaan?

Tapi, di tengah kehancuran itu, saya justru banyak mendapatkan pengalaman baru. Saya belajar tentang dunia nyata. Tentang betapa rapuhnya rencana manusia. Saya belajar tentang uang—bukan hanya cara menghasilkannya, tapi juga bagaimana uang bisa menghancurkan harga diri. Saya belajar tentang hubungan—banyak teman menghilang saat saya bangkrut, tetapi justru orang-orang yang tak pernah saya duga yang tetap berdiri di samping saya. Saya belajar tentang diri saya sendiri: bahwa saya bukan sekuat yang saya kira, tapi juga tidak selemah yang saya kira.

Di titik terendah, saya mulai pasrah. Bukan menyerah, tapi pasrah. Ada perbedaan besar antara keduanya. Menyerah adalah menghentikan perjuangan. Pasrah adalah mengakui bahwa ada hal-hal di luar kendali saya. Saya mulai memahami bahwa takdir bukan sesuatu yang bisa saya bentuk sekehendak hati. Dulu, saya percaya bahwa saya bisa menciptakan takdir saya sendiri. Saya bisa menulis nasib saya dengan tinta impian. Tapi kini, saya sadar: saya hanyalah manusia kecil yang berjalan di atas tanah yang digerakkan oleh kekuatan yang jauh lebih besar.

Dalam kepasrahan itu, saya menemukan Tuhan. Bukan dalam cara yang dramatis atau religius yang kaku, tapi dalam keheningan malam-malam tanpa tidur, saat saya duduk di depan jendela, memandang bintang, dan berkata, “Aku lelah. Aku tidak tahu harus ke mana.” Di situlah saya merasakan kehadiran-Nya. Bukan sebagai penolong ajaib, tapi sebagai kehadiran yang menenangkan. Saya mulai memahami bahwa Tuhan Maha segalanya—bukan hanya dalam arti kuasa, tapi juga dalam arti kasih, pengertian, dan rencana yang tak selalu bisa saya pahami. Saya mulai percaya bahwa setiap kegagalan, setiap luka, setiap tangisan, adalah bagian dari sebuah skenario yang lebih besar. Dan saya bukan sutradaranya.

Dari sanalah, saya mulai berdamai dengan keadaan. Saya tidak lagi membandingkan diri dengan siapa pun. Tidak lagi merasa malu karena gagal. Saya belajar menerima bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, tapi bagian dari proses menjadi manusia yang lebih utuh. Saya mulai merawat diri saya—bukan dengan kemewahan, tapi dengan kejujuran. Saya berhenti menuntut diri untuk segera bangkit, dan membiarkan diri saya sembuh perlahan, seperti luka yang butuh waktu untuk menutup.

Dan kemudian, suatu hari, saya menulis lagi. Tidak untuk uang. Tidak untuk viral. Tidak untuk membuktikan apa pun. Saya menulis karena saya rindu. Karena kata-kata itu masih ada di dalam dada, menunggu untuk dilahirkan. Saya menulis tentang kegagalan. Tentang rasa bersalah. Tentang rindu yang tak terucap. Tentang doa yang terlambat. Saya menulis seperti dulu—dengan hati. Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, saya merasa bahagia.

Menulis kembali bukan berarti semua masalah selesai. Utang masih ada. Hidup masih keras. Tapi yang berubah adalah saya. Saya tidak lagi menulis untuk membentuk dunia, tapi untuk memahami diri saya di dalam dunia. Saya tidak lagi menulis untuk menjadi siapa-siapa, tapi untuk menjadi diri saya sendiri—yang rapuh, yang pernah jatuh, tapi masih berani berdiri.

Saya berhenti menulis bukan karena kehilangan cinta, tapi karena terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bukan milik saya. Saya berhenti karena terlalu percaya bahwa saya bisa mengatur segalanya. Dan saya kembali menulis karena akhirnya saya mengerti: menulis bukan tentang kontrol, tapi tentang kerentanan. Bukan tentang kesuksesan, tapi tentang kejujuran.

Kini, saya menulis bukan untuk menyelamatkan dunia, tapi untuk menyelamatkan diri saya sendiri. Dan dalam proses itu, saya menemukan kebahagiaan yang dulu saya kira hanya bisa datang dari pencapaian. Ternyata, kebahagiaan itu tumbuh dari penerimaan. Dari rasa syukur atas hal-hal kecil: secangkir kopi pagi, sinar matahari di meja kerja, dan sebuah kalimat yang lahir dari ketulusan.

Jadi, mengapa saya berhenti menulis? Karena saya terlalu sibuk menjadi manusia yang ingin segalanya. Dan mengapa saya kembali? Karena saya akhirnya belajar menjadi manusia yang cukup dengan apa adanya.

Menulis bukan lagi ambisi. Ia adalah napas. Ia adalah doa. Ia adalah cara saya berdamai dengan hidup. Dan untuk pertama kalinya, saya menulis tanpa beban. Hanya dengan hati. Dan itu—lebih dari cukup.

Rabu, 06 Agustus 2025

Negeri Kepulauan Kalibatur (Sebuah Desa yang -Mungkin- Terlupakan, Namun Penuh Potensi)

 

Negeri Kepulauan Kalibatur

(Sebuah Desa yang -Mungkin- Terlupakan, Namun Penuh Potensi)

 

Di ujung tertinggi negeri mimpi: Tulungagung, tersembunyi sebuah desa kecil yang saya sebut sebagai "Negeri Kepulauan Kalibatur". Bisa jadi ini berlebihan, tapi tidak bagi saya. Desa ini seperti dikelilingi tembok kehidupan yang menjulang tinggi, akan tetapi di tiap bagiannya ada pintu yang mudah dibuka bagi siapa saja.

Kalibatur bukan sekadar desa biasa. Ia adalah dunia tersendiri: dengan sistem sosial yang unik, potensi alam yang melimpah, dan dinamika kehidupan yang khas. Di sini, setiap orang saling mengenal, setiap sudut tanah punya cerita, dan setiap matahari terbenam di Pantai Sine seolah menjadi saksi bisu dari perjuangan dan harapan mereka. Dan di desa ini, saya dan pasukan KKN saya bertransformasi, mendedah rahasia kehidupan, dan belajar menjadi bagian yang tidak terlupakan.


 

KKN: Bukan Hanya Tugas, Tapi Jembatan Kemanusiaan

Tahun ini, Kalibatur kedatangan kami; beberapa mahasiswa yang sudah tidak sabar melepas genggaman pengetahuan yang didapat dari meja kelas. Sehingga, pada detik berikutnya, KKN di Kalibatur bukan sekadar tugas akademik yang harus dilalui untuk menyelesaikan rangkaian tugas sebagai mahasiswa yang punya NIM. Lebih dari itu, KKN menjadi jembatan antara dunia kampus dengan beragam dinamika paradigma dan realitas pedesaan yang keras, namun penuh hikmah.

Mahasiswa yang datang awalnya mungkin merasa asing—dengan sosial masyarakat yang berbeda, juga tentang kebiasaan makan yang sederhana, dan keterbatasan fasilitas kekinian; internet dengan kecepatan di atas 100 Mbps. Namun, detik yang terhabisi, menjadikan mereka semua satu kehidupan. Tercipta saudara; “rubba akhin lam talidhu ummun” -banyak saudara yang tidak dilahirkan dari satu ibu.

Kepala desa, Pak Asim; yang dari sisi usia tidak muda lagi, tapi memiliki pikiran yang sangat terbuka dan penuh inovasi. Kontras dengan problem utama desanya; klasik dan terkesan tidak menerima kebaruan.

Pak Asim, dalam sambutannya kala itu, mengatakan bahwa kami, peserta KKN, diharapkan bisa terlibat langsung dalam pembangunan desa. Mulai dari penyuluhan pertanian, pelatihan digital untuk pemuda, hingga membantu merancang promosi wisata desa. “Kami butuh energi baru,” katanya berapi-api di mimbar desa ketika itu, “anak-anak muda ini membawa angin segar, dan kami akan dengan senang hati membuka apa saja yang dibutuhkan.” Riuh hadirin menggema di pendopo desa.

Sehingga dalam catatan saya, belum genap seminggu setelah pembukaan di pendopo desa, mahasiswa KKN menjadi bagian tak terpisahkan dari arus kehidupan Kalibatur. Hubungan yang terbangun bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar lahir dari rasa saling percaya dan penghargaan. Di Kalibatur, perbedaan latar belakang tidak menjadi penghalang, melainkan justru menjadi jembatan kekerabatan. Bahkan, setelah program KKN kami tutup hari ini (06/08/2025), kami sudah merasakan seperti tamu yang -kelak- sangat dirindukan. 

Tanah Subur, Hati yang Keras: Potensi dan Tantangan Pertanian

Kalibatur dianugerahi tanah yang subur dan iklim yang mendukung pertanian dan perkebunan. Hamparan lahan hijau membentang dari kaki bukit hingga pesisir. Desa ini dikelilingi oleh hutan rakyat dan lahan pertanian milik warga, yang sebagian besar digunakan untuk menanam jati dan sengon—dua komoditas utama yang menjadi tulang punggung ekonomi warga.

Pohon jati, dengan kayunya yang kuat dan tahan lama, telah menjadi warisan turun-temurun. Banyak petani yang menanam jati sejak puluhan tahun lalu, dan kini mereka mulai memanen hasilnya. Sementara itu, sengon—yang tumbuh lebih cepat (3–5 tahun siap tebang)—menjadi alternatif yang menjanjikan bagi petani muda yang ingin mendapat penghasilan lebih cepat. Kayu sengon banyak digunakan untuk industri kayu lapis, kertas, dan bahan baku furnitur.

Namun, di balik potensi besar tersebut, tersimpan tantangan yang cukup pelik. Masih banyak masyarakat yang enggan menerima pengetahuan baru tentang pertanian modern. Mereka lebih memilih cara-cara tradisional yang diwariskan dari leluhur—dari sistem tanam manual hingga perawatan tanpa pupuk organik. Bagi mereka, "jika dulu berhasil, mengapa harus berubah sekarang?"

Pergeseran zaman dan perubahan iklim seharusnya menjadi alasan kuat untuk berinovasi. Teknologi seperti irigasi tetes, penggunaan bibit unggul, dan pemupukan berbasis data bisa meningkatkan hasil panen secara signifikan. Namun, ketika ada beberapa yang mencoba memperkenalkan sistem tersebut, mereka sering dihadapkan pada keraguan dan bahkan penolakan halus. "Kami sudah lama hidup seperti ini, tidak perlu cara-cara baru yang belum tentu cocok," ujar Pak Marto menirukan penolakan para petani beberap waktu lalu. Pak Marto sendiri juga sudah kehabisan akal, semua ilmu pertanian dan perkebunan yang ia dapat dari banyak pelatihan -bahkan sampai ke Bogor- seperti tidak ada gunanya.

Resistensi terhadap perubahan bukan semata-mata karena ketidaktahuan, tetapi juga karena ketakutan akan risiko. Bagi petani, tanah adalah satu-satunya modal. Mereka tidak ingin mengambil risiko dengan metode yang belum terbukti di lingkungan mereka. Selain itu, minimnya akses terhadap informasi dan pelatihan membuat mereka terjebak dalam siklus pertanian konvensional.

Untuk itu, pendekatan harus dilakukan secara pelan dan penuh empati. Inovasi pertanian tidak boleh dipaksakan, tetapi diperkenalkan melalui contoh nyata. Beberapa mahasiswa KKN kemudian menginisiasi sebuah kegiatan melek informasi dan terbuka dengan kebaruan. Misalnya saja tentang demo plot—lahan percontohan—di mana mereka menanam sengon dengan teknik modern: pemupukan organik, jarak tanam optimal, dan sistem drainase yang baik. Sehingga, dalam waktu dua tahun saja, hasilnya terlihat jelas: pertumbuhan lebih cepat, kualitas kayu lebih baik, dan hasil panen lebih tinggi. Harapan besar semua pihak, semoga para petani klasik tertarik untuk belajar dan meniru. 

Pantai Sine: Permata Tersembunyi yang Menanti Dunia

Jika pertanian dan perkebunan menjadi tulang punggung ekonomi Kalibatur, maka Pantai Sine adalah jantung pariwisatanya. Terletak di ujung selatan desa, pantai ini memiliki pasir putih halus, ombak yang tenang, dan pemandangan matahari terbenam yang memukau. Belum banyak wisatawan yang tahu tentang keindahan ini, meski akses jalan sudah modern dan memudahkan bagi semua pengunjung.

Meski begitu, warga sudah banyak membuka warung makanan laut segar, homestay sederhana, dan persewaan perahu. Pemerintah desa bahkan berencana membangun taman rekreasi kecil dan jalur sepeda di sepanjang bibir pantai. Dengan dukungan dari mahasiswa KKN yang membantu membuat konten media sosial, Pantai Sine -diharapkan- perlahan mulai dikenal di kalangan wisatawan lokal.

Salah satu inisiatif menarik adalah festival pantai tahunan yang diadakan oleh pemuda desa. Dengan dukungan dana desa dan partisipasi warga, acara ini menampilkan tarian tradisional, lomba perahu, dan pasar rakyat yang menjual hasil bumi dan kerajinan tangan. Festival ini tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga membangkitkan semangat kebersamaan di antara warga. 

Menuju Kalibatur yang Lebih Maju: Tantangan dan Harapan

Kalibatur mungkin kecil di mata dunia, tapi bukan berarti tidak penting. Desa ini adalah cermin dari banyak desa di Indonesia: kaya sumber daya, kaya budaya, tapi terhambat oleh keterbatasan akses informasi dan ketakutan terhadap perubahan. Tantangan utama bukanlah infrastruktur atau modal, melainkan pola pikir.

Untuk itu, pendekatan harus dilakukan secara pelan dan penuh empati. Inovasi pertanian tidak boleh dipaksakan, tetapi diperkenalkan melalui contoh nyata. Kolaborasi antara pemerintah desa, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci. Program pelatihan, penyuluhan rutin, dan akses internet yang lebih baik bisa menjadi jalan keluar.

Selain itu, peran generasi muda sangat penting. Mereka adalah jembatan antara tradisi dan modernitas. Dengan pendidikan yang lebih baik dan semangat berkembang, pemuda Kalibatur bisa membawa desa ini ke arah yang lebih maju—tanpa harus meninggalkan akar budayanya. 

Penutup: Kalibatur Bukan Sekadar Desa

Kalibatur mungkin hanya sebuah desa kecil di peta Indonesia. Tapi bagi mereka yang pernah tinggal di sana, desa ini seperti dunia yang utuh, dengan segala kompleksitas dan keindahannya. Dari KKN yang mempererat persaudaraan, potensi jati dan sengon yang menjanjikan, hingga Pantai Sine yang menanti dikenal dunia, Kalibatur punya cerita yang layak ditulis.

Tapi, yang dibutuhkan sekarang bukan lagi penilaian dari luar, tetapi keberanian dari dalam: keberanian untuk belajar, berubah, dan membuka diri terhadap masa depan. Karena di tengah sawah yang menghijau dan ombak yang berbisik, masa depan Kalibatur sedang ditulis—oleh tangan-tangan petani, oleh mimpi anak-anak sekolah, dan oleh semangat gotong royong yang tak pernah padam.

 

Selamat datang di Negeri Kepulauan Kalibatur—kecil di peta, besar di hati. Sebuah desa yang mungkin terlupakan, tapi penuh harapan untuk bangkit.

 

Dah, saya ngantuk. Mau segera tidur. Sebab besok, waktunya mengumpulkan laporan SPPD, biar segera hujan :D :D :D

 

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...